Minggu, 13 November 2005

Itsar

Salah satu sifat tertinggi dari seorang muslim adalah itsar. Sesuatu perbuatan yang sangat mulia dimana dahulu telah banyak dicontohkan oleh rasulullah SAW beserta sahabat-sahabatnya. Itsar adalah bagaimana kepentingan individunya harus dikalahkan demi dan untuk kepentingan saudaranya yang lain. Subhanalloh begitu tingginya akhlak itu. Seorang muslim haruslah berusaha sekeras mungkin untuk meraih sifat ini. Jika hal itu telah ada dalam diri setiap muslim maka persatuan, kesatuan, perasaan kasih sayang akan tercipta dengan kekal dan abadi. Tak khayal lagi akan terbentuk suatu generasi yang kokoh penuh mahabbah dan ukhuwah yang kuat. Boleh jadi daulah islamiyyah akan terwujud kembali dari hal tersebut. Ingat kepribadian islami diawal dari hal-hal yang kecil kemudian terus dan terus sampai terbentuk kesempurnaan islam kaffah sebagaimana para sahabat radiyallahuanhum.

Penulis : nur rokhmat

Sabtu, 13 Agustus 2005

Keutamaan Dan Hukum I'tikaf

Segala pujian dan sanjungan hanya bagi Allah Rabb para pendahulu dan seluruh penghuni bumi hingga akhir zaman. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan dan teladan kita Nabi Agung Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam seorang hamba yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, demikian pula semoga tercurah kepada seluruh keluarga dan para shahabatnya.

Dengan risalah singkat ini penulis mengharapkan agar dapat memberi manfaat, secara khusus bagi pribadi penulis dan umumnya kepada kaum muslimin. Mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan seluruh amalan kita pemberat timbangan kebajikan kelak nanti di akherat, Amin ya Rabbal 'Alamin.

Makna i'tikaf secara bahasa

Menurut bahasa i'tikaf punya arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: Al A'raf ayat 138:

"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab: "Sesung-guhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)". (QS.7:138)

Sedangkan menurut syara' i'tikaf berarti menetapnya seorang muslim didalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Hukum i'tikaf

Para ulama sepakat bahwa i'tikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pahalaNya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh akhir dari bulan suci itu. Demikian tuntunan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Yang wajib beri'tikaf

Sebagaimana dimaklumi bahwa i'tikaf hukumnya sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab Radhiallaahu 'anhu yang diriwayatkan imam Al Bukhari dan Muslim.

Di sebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan i'tikaf semenjak beliau sampai di Madinah hingga akhir hayat.

Tempat i'tikaf

I'tikaf tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berjama'ah kaum laki-laki, firman Allah Ta'ala:

"Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangangAllah, maka janganlah kamu mendekatinya" (Al-Baqarah: 187)

Orang yang beri'tikaf pada hari Jum'at disunnahkan untuk beri'tikaf di masjid yang di gunakan untuk shalat Jum'at. Tetapi jika ia beritikaf di masjid yang hanya untuk shalat jama'ah lima waktu saja maka hendaknya ia keluar hanya sekedar untuk shalat jum'at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat i'tikafnya semula.

Waktu i'tikaf

I'tikaf di sunnahkan kapan saja di sembarang waktu, maka diperbolehkan bagi setiap muslim untuk memilih waktu kapan ia memulai i'tikaf dan kapan mengakhirinya. Namun yang paling utama adalah i'tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i'tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih:

"Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau" (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radhiallaahu 'anhua)

Sunnah-sunnah bagi orang yang sedang i'tikaf

Di sunnahkan bagi para mu'takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca Al Qur'an, mengerjakan shalat sunnah (terkecuali pada waktu-waktu terlarang), serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang hakekat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.

Hal-hal yang harus dihindari mu'takif

Orang yang sedang i'tikaf dianjurkan untuk menghindari perkara-perkara yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i'tikafnya. Karena i'tikaf bertujuan mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di sunnahkan.

Ada sebagian orang yang beri'tikaf namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat di benarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu orang yang i'tikaf hendaknya ia menghentikan i'tikafnya jika memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.

Hal-hal yang mebolehkan mu'takif keluar dari masjid

Seorang mu'takif diperbolehkan meninggalkan tempat i'tikafnya jika memang ada hal-hal yang sangat mendesak. Diantaranya; buang hajat yaitu keluar ke WC untuk buang air, atau untuk mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya, dan pergi untuk berobat jika sakit. Demikian pula untuk keperluan syar'i seperti; shalat Jum'at jika tempat ia beri'tikaf tidak digunakan untuk shalat Jum'at, menjadi saksi atas suatu perkara dan juga boleh membantu keluarganya yang sakit jika memang mengharuskan untuk dibantu. Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk kategori dharuri (harus).

Larangan-larangan dalam i'tikaf

Orang yang sedang bei'tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan syar'i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut maka i'tikafnya batal. Selain itu ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram diluar i'tikaf maka pada saat i'tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya. Mu'takif juga di larang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan i'tikafnya.

Menentukan syarat dalam i'tikaf

Seorang mu'takif diperbolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i'tikaf untuk melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya saja ia menetapkan syarat agar makan minum harus dirumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang dengan tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi dagangannya maka i'tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan dengan makna dan pengertian i'tikaf itu sendiri.

Hikmah dan Manfaat i'tikaf

I'tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul n dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Sedangkan manfaat i'tikaf diantaranya adalah sebagai berikut:

· Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.

· Mendatangkan ketenangan, keten-traman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.

· Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala . Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayangNya

· Orang yang beri'tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan inayahNya kepada kita agar dapat menjalankan i'tikaf sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam , terutama di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, Amiin.

Disampaikan oleh yang mulia Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin.) Sumber: Buletin Dakwah An Nur edisi Ramadhan 1416 H. (Dept. Ilmiah)

Sabtu, 16 Juli 2005

Makna Idul Fitri/Adha

Abdul Hakim bin Amir Abdat

Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan 1412 H) 1*) atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khotib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu ma'nanya -menurut persangkaan mereka- ialah kembali kepada FITRAH, yakni kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita ..?

Penjelasan mereka di atas, adalah BATIL baik ditinjau dari lughoh/bahasa ataupun Syara'/Agama. Kesalahan tersebut dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena sebagian dari para khotib tersebut tidak punya keahlian dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta'ala.

Pertama :

"Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz FITHRU/ IFTHAAR artinya menurut bahasa = BERBUKA (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi IDUL FITHRI artinya HARI RAYA BERBUKA PUASA. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah sebulan kita berpuasa. Sedangkan FITHRAH tulisannya sebagai berikut [FA-THAA-RA-] dan [TA MARBUTHOH] bukan [FA-THAA-RA]".

Kedua :

"Adapun kesalahan mereka menurut Syara' telah datang hadits yang menerangkan bahwa IDUL FITHRI itu ialah HARI RAYA KITA KEMBALI BERBUKA PUASA.

"Artinya : Dari Abi Hurairah (ia berkata), sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari KAMU BERBUKA. Dan (Idul) Adha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan korban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan".

SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan sanadnya di kitab saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi.

Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
"Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka".

Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
"Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adha pada hari kamu menyembelih hewan".

Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:
"Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan".

Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama.

Itulah arti Idul Fithri...! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka. Jadi artinya bukan "kembali kepada fithrah", karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi : "Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci !!!.

Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil sunnah dan lughoh/bahasa.

Adapun makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama'ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).

Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :

"Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama'ah dan bersama-sama orang banyak".

Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat.
Aamiin ..!!!

1* Makalah ini dibuat pada tahun 14112 H/1992 M

Minggu, 15 Mei 2005

GaLs Do NoT cRy EaSiLy…

if a girl cries in front of u,
it means that she couldnt take it anymore.
If u take her hand,
she would stay with u for the rest of ur life;
If u let her go,
she couldnt go back to being herself anymore.

A gal wont cry easily,
except in front of the person whom she loves the most,
she becomes weak.

A gal wont cry easily,
only when she love u the most,
she put down her ego.

Guys, if a gal cries bcoz of u,
please hold her hands firmly,
coz she’s the one who is willing to stay
with u 4 for the rest of ur life.

Guys, if a gal cries bcoz of u,
please dont give her up,
maybe bcoz of ur decision, u ruin her life.

When she cry rite in front of u,
When she cry bcoz of u,
Look into her eyes,
Can u see n feel the pain n hurt she’s feeling?
Think.
Which other girl have cried with pure sincerity,
In front of u, And bcoz of u?

She cries not because she is weak,
She cries not bcoz she wants sympathy or pity,
She cries,
Because crying silently is no longer possible,
the pain, hurt n agony have bcome a burden too big to be kept inside.

Guys,
Think about it,
If a gal cry her heart out to u,
And all because of u,
Its time to look back on wat u have done,
Only u will know the answer to it.

Do consider it,
Coz one day,
It may b too late for regrets,
It may b too late to say “im sorry”.

Maybe in ur life,
she’s the only one who loves u the most.
Remember this lesson

Senin, 18 April 2005

Perilaku Iman

Perilaku Iman

Perilaku Iman

Ketika ajal menghampiri Khalifah Umar bin Khattab, ia berpesan kepada anaknya, Abdullah bin Umar, ''Wahai anakku, laksanakanlah perilaku-perilaku iman!"

''Apakah perilaku-perilaku iman itu, wahai ayah?'' tanya Abdullah.

Umar menjawab, ''Berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas, sabar menghadapi musibah, menyempurnakan wudlu di hari yang bercuaca dingin, menyegerakan shalat di hari yang mendung, dan meninggalkan 'lumpur maut'.''

''Apa itu 'lumpur maut'?'' tanya Abdullah.

''Meminum khamar,'' jelas Umar (al-Humawi, 2003).

Dalam wasiat terakhirnya itu, Umar dengan bijaksana merangkum aktualisasi keimanan bagi setiap orang yang mengaku beriman (mukmin). Apa yang Umar sebut sebagai 'perilaku keimanan' merupakan sebagian bukti lahiriah dari keimanan yang ada pada diri seseorang.

Karena iman, sebagaimana sabda Nabi SAW, adalah dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Tanpa salah satu dari ketiganya, maka keimanan seseorang belum diakui, sebagaimana firman Allah berkaitan dengan orang Arab Badui:

''Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman', tetapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu ...'' (Al-Hujuraat: 14). Karena itu, 'perilaku-perilaku keimanan' yang Umar sebutkan, patut kita renungkan.

Wasiat agar 'berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas', karena puasa adalah bukti keimanan yang jujur yang hanya hamba dan Tuhannyalah yang tahu. Apalagi berpuasa di hari-hari yang berat. Jika ia dapat melakukannya, berarti ia berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan menggapai hakikat kemanusiaannya, yaitu memiliki hawa nafsu, bukan dimiliki oleh hawa nafsu.

Umar juga mengingatkan untuk 'sabar menghadapi musibah', karena musibah adalah salah satu waktu yang selalu ada pada diri manusia, selain waktu nikmat, taat, dan maksiat.

Dan, yang diminta oleh Islam, ketika mendapat kenikmatan adalah bersyukur, ketika taat banyak beribadah, ketika maksiat banyak beristighfar dan bertobat, dan terakhir ketika mendapat musibah adalah bersabar menghadapinya karena semua peristiwa kehidupan adalah suratan dari Allah.

Dengan begitu, hati menjadi tenang, tidak putus asa, dan terus mengharap rahmat Allah.
'Menyempurnakan wudlu di hari bercuaca dingin' merupakan ekspresi keimanan yang cukup tinggi. Meskipun mendapat keringanan untuk berwudlu yang wajib-wajib saja jika tidak kuat dalam cuaca dingin, tetapi karena keimanan yang tinggi, tetap berwudlu dengan sempurna.

Meminum khamar tidak saja merusak jiwa dan keimanan, tapi juga merusak fisik seseorang. Bahkan, dampak negatifnya juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengharamkannya. Tidak hanya khamar, tapi juga segala hal yang memabukkan. Wajar jika Umar mewasiatkan untuk meninggalkannya karena jika tidak, sama saja meruntuhkan keimanan yang ada dalam diri.


Dendi Irfan

Sumber: republika, 08 Oktober 2003

Minggu, 17 April 2005

Mengucapkan Allahu A'lam Bila Tidak Tahu

Oleh : Muhammad Yassir

Allah berfirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)

Inilah keadaan gambaran manusia ketika pertama kali ia lahir ke dunia yang fana ini. Ia tidak mengetahui apa-apa, hanya menangis dan tidur yang bisa ia lakukan. Akan tetapi, Allah yang maha Pemurah memberikan kepadanya beberapa sarana dari anggota tubuhnya yang dapat dipergunakan untuk mengetahui banyak hal yang masih asing baginya.

Pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Inilah sarana yang sangat berperan dalam menuntut ilmu. Yaitu untuk mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat tanda kebesaran Allah dengan tujuan pada akahirnya manusia dapat mengetahui dan mewujudkan tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yaitu beribadah semata-mata kepada Allah.

Allah telah memberi peringatan dan ancaman yang keras bagi manusia dan jin yang tidak menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati mereka pada tempat semestinya yang diridhoi dan diperintahkan Allah, yaitu untuk mentauhidkannya. Mereka digambarkan bagaikan binatang ternak, bahkan lebih hina.

Di antara manusia ada yang mampu menggunakan sarana-sarana di anggota tubuhnya untuk menuntut ilmu syar'i yang digali dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Merekalah para ulama dan penuntut ilmu di jalan Allah.

Namun, berapapun banyaknya pembendaharaan ilmu yang dimiliki oleh manusia, seluas apapun bidang ilmu yang mampudikuasainya, hanyalah sedikit sekali dari pemberian Allah: Allah berfirman:

Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit (Al-Isra:85)

Hendaklah seorang alim maupun penuntut ilmu mengetahui kadar ilmu yang ia miliki. Agar ia hanya berkata dan menjawab sebatas apa yang diketahuinya ketika ia memikul tangggung jawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang awam. Selebihnya, ia hanya bisa menyerahkan kepada Allah dengan menjawab Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui) atau Saya tidak tahu.

Ucapan ini bukanlah menunjukkan kebodohan seseorang, tapi malah merupakan suatu sikap yang sangat terpuji dan mulia, akhlaq sunni yang diwariskan dari Rasulullah dan para Sahabat beliau, menunjukkan sifat wara' dan tawadhu' seseorang di hadapan syariat Allah. Karena, di atas orang alim ada yang lebih alim.

Telah mendahului kita para hamba Allah yang mulia dalam mengakui ketidaktahuannya. Beberapa contoh di antaranya:

1. Para malaikat.

Firman Allah Dalam Al-Quran:

Allah berkata kepada para malaikat, Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar !Para malaikat menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah: 31-32)

2. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.

Firman Allah Dalam Al-Quran:

Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada.(shad: 86)

Ibnu Mas'ud berkata: Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui). Karena, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada.

Begitu pula ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya oleh Malaikat Jibril (dalam sebuah hadis yang panjang) tentang kapan terjadinya Hari Kiamat. Beliau menjawab:Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.(HR. Muslim)

3. Kisah para Sahabat Rasulullah dan para ulama yang berjalan mengikuti jejak mereka, diantaranya:

Abu Bakar.

Beliau pernah ditanya tentang ayat-ayat Al-Quran. Beliau berkata: Bumi manakah yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku (maksudnya kemanakah aku akan pergi melangkah), jika aku berkata tentang ayat-ayat dalam Kitab Allah, berbeda dengan maksud yang diinginkan Allah.

Beliau merasa khawatir untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tanpa ilmu.

Ali bin Abi Thalib

Beliau pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab Saya tidak tahu. Kemudian beliau berkata lagi Alangkah sejuknya hati ini (tiga kali). Orang- orang bertanya: Ya Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?. Beliau menjawab: Yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab Allahu A'lam.

Ibnu Umar

Beliau pernah ditanya: Apakah bibi dari pihak bapak ikut mewarisi harta warisan ?. Beliau menjawab: Saya tidak tahu. Yang bertanya menimpali: Jadi anda tidak tahu dan kami pun tidak tahu ?. Ibnu Umar menjawab: Ya, pergilah ke ulama-ulama di Madinah dan tanyailah mereka. Setelah orang yang bertanya tadi berlalu, Ibnu Umar mencium kedua tangannya seraya berkata: Alangkah indahnya perkataan Abu Abdurrahman (Ibnu Umar) ketika ia ditanya yang tidak diketahuinya ia berkata ' Saya tidak tahu' .

Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam yang tidak mereka ketahui dengan ucapan Allahu wa Rasuluhu A'lam (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)

Umar bin Khattab

Beliau ketika ditanya Rasulullah tentang laki-laki berpakaian serba putih dan berambut hitam legam yang datang bertanya kepada Rasulullah masalah Islam, Iman, Ihsan, dan Hari Kiamat. Umar bin Khattab menjawab Allahu wa Rasuluhu A'lam (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)

Imam Asy-Sya'by

Imam Asy-Sya'by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: Saya tidak tahu. Tapi beliau malah ditanya lagi: Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?. Asy-Sya'by menjawab: Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: 'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami' .

Ibnu Wahb

Ibnu Wahb berkata: Saya mendengar Imam Malik sering berkata 'saya tidak tahu', seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi lembaran yang banyak.

Itulah ketawadhuan yang dimiliki oleh orang-orang yang terbaik dari umat ini, kemudian diwarisi oleh para ulama sesudah mereka. Mereka tidak segan untuk mengucapkan tidak tahu, dan tidak malu untuk mengucapkan Allahu A'lam.

Mereka sangat paham, bahwa ucapan itu tidak akan menurunkan derajat keilmuan mereka. Bahkan, ucapan itu menunjukkan keilmuan dan kefaqihan seseorang.

Karena, hanya orang-orang bodohlah yang berani berbicara tanpa dilandasi ilmu. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Sesunggahnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus. Tetapi,Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila tidaktersisa lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanyai dan berfatwa tanpa didasari ilmu, mererka sesat lagi menyesatkan.(HR. Bukhari dan Muslim)

Alangkah sangat memilukan pemandangan yang dapat kita saksikan di sekitar kita. Memasyarakatnya bid'ah dan menyebarnya kerancuan, salah satu penyebabnya adalah karena fatwa yang tidak didasari ilmu dari orang-orang yang diulamakan; dianggap cendekiawan; atau dijuluki pemikir Islam oleh mayarakat awam. Mungkin merasa gengsi untuk mengucapkan tidak tahu di depan para penggemarnya. Allahu Musta'an…… .

Marilah kita mengoreksi diri kita masing-masing, agar kita mengetahui kedudukan kita dibanding para sahabat Rasulullah dan ulama umat ini untuk berfatwa dalam syariat Allah. Mari kita ambil pelajaran dari nasehat Abu Dziyal: Belajarlah mengucapkan 'saya tidak tahu', jangan kamu belajar mengucapkan 'saya tahu'. Karena, jika kamu mengatakan 'saya tidak tahu’, kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan 'saya tahu', kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan 'tidak tahu' .

Maraji': Hilyatul 'Alimil Mu'allim wa Bulghatut Thalibil Muta'allim, Salim Al-Hilaly.

Penulis: Muhammad Yassir. Wisma Al-Kahfy, Gg. Mulwo No. 11, Karang Wuni, Yogyakarta 55281, sekarang mahasiswa Jami'ah Islamiyyah Madinah.

Sumber : Salafyoon.Net 2003

Rabu, 26 Januari 2005

Bunga Cantik Di Tengah Padang Rumput

Oleh = Ade Anita

KafeMuslimah.com.

Siapa di antara anda yang belum pernah mendengar pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak cinta ?”.
Tentu semuanya sudah pernah mendengarnya, baik pada waktu pelajaran peribahasa di Mata Ajaran Bahasa Indonesia atau dalam pergaulan sehari-hari karena pepatah ini kerap kali digunakan orang.
Sekarang, malah ada sedikit perubahan dan penambahan kata dalam pepatah tersebut. Yaitu menjadi “Tak Kenal Maka Ta’aruf. “ .
Berbedakah keduanya ?

Dari kedua kalimat tersebut, sebenarnya ada perbedaan arti meski hanya sedikit dan tipis sekali.
Taruh sebuah permisalan. Jika anda bertemu dengan seseorang yang tidak anda kenal sama sekali, tentu anda ingin mengenalnya lebih jauh dan keinginan untuk mengenalnya itu begitu kuat muncul dalam diri anda.
Anda ingin tahu siapa namanya, dimana dia tinggal, apa kegiatannya dan segala sesuatu yang menyelingkupi kehidupan teman baru anda itu. Dalam kondisi seperti ini maka pepatah ‘yang baru’ akan diterapkan, “Tak Kenal Maka Ta’aruf.”.
Tahukah anda bahwa sebenarnya dalam proses perkenalan itu telah terjadi sebuah proses lain yang juga berkembang dalam diri kita.
Yaitu sebuah proses pemilahan kelompok teman. Pada waktu kita mulai melancarkan rangkaian pertanyaan padanya tanpa kita sadari yang kita cari adalah kesamaan dan kesesuaian dalam beberapa hal yang sekiranya akan menjadi perekat perkenalan tersebut.

“Eh.. suka baca buku nggak ?” atau
“Oh, kamu tinggal disana yah ? Hmm, aku punya teman di sana, kenal sama A nggak yah, dia tinggal di blok Z.”

Proses perekat hubungan inilah pada banyak orang diartikan sebagai sebuah proses “Tak Kenal maka Tak Cinta.”.
Tidak ada yang menyadari bahwa sebenarnya tidak melulu arti pemahaman sebuah perkenalan akan berakhir dengan sesuatu yang manis seperti yang diharapkan dalam pepatah tersebut.
Ada kalanya, setelah sebuah perkenalan terjadi, lalu pengenalan diri masing-masing berlanjut pada hal yang lebih jauh, sebuah hubungan ‘perkenalan’ bisa jadi ikut berakhir pula seiring dengan perpisahan yang terjadi dalam sebuah pertemuan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia untuk dapat memperoleh kepercayaan dan rasa aman dalam dirinya. Inilah yang terjadi dalam proses pemilahan kelompok teman yang baru kita kenal.
Yup. Ada sebuah proses lain dalam sebuah perkenalan yang tanpa kita sadari telah menggiring kita untuk melakukan sebuah pemilahan yang sangat bersifat subjektif karena kebutuhan kita akan rasa percaya dan dan rasa aman tersebut.
Tanpa kita sadari kita mulai melakukan pemilahan dan pencarian data apakah dia cukup bermanfaat sebagai seorang teman ataukah tidak, ada sebuah istilah yang mungkin lebih pas tapi konotasinya pada beberapa orang mungkin menyakitkan telinga yang sensitif, yaitu “seberapa pantas orang yang baru anda kenal itu bisa menjadi teman anda”.

“Seberapa pantas…”, terdengar sangat arogan dan tidak bersahabat yah ? Tapi meski terdengar sangat tidak sopan, memang itulah yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses perkenalan.
Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan bisa meletakkan rasa percaya kita pada seseorang yang tidak kita kenal ?
Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan merasa aman pada seseorang yang tidak kita kenal ?
Sekali lagi, dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan memberikan rasa sayang, rasa cinta kita pada seseorang yang tidak kita kenal.
Bukankah “Tak kenal maka Tak Cinta ?”

Dan disinilah letak ketertakjubanku pada peristiwa yang aku alami yang justru membuatku berpikir,
tidak selamanya mungkin sebuah pertemuan dengan seseorang yang kita belum kita kenal akan melahirkan keinginan untuk ta’aruf,
dan rasa sayang bisa saja terjadi tanpa didahului sebuah perkenalan yang memuat sebuah isian biodata yang harus diisi dalam blangko pencernaan pikiran biasa (tanya nama, alamat dan sebagainya).

Peristiwa yang pertama adalah sebuah peristiwa di sebuah bis kota yang melaju lamban di jalan raya yang macet di pinggir kota Jakarta yang memang sudah sangat padat setiap jalur badan jalannya dengan kendaraan yang berseliweran setiap harinya.

Hari cukup panas ketika itu dan bau keringat penumpang mulai menyebar menimbulkan sebuah perasaan tidak nyaman.
Di sebelahku duduk seorang gadis berjilbab yang bertubuh agak besar.
Dia sedang asyik membaca sebuah buku. Kulirik buku di tangannya dan mengenalinya sebagai salah satu buku yang sering aku lihat di pajang di toko buku.
Secara iseng (sungguh ini pertanyaan iseng karena aku mulai jenuh dengan masa menunggu kemacetan lalu lintas) aku mulai bertanya tentang apa judul buku yang dia baca. Gadis itu memperlihatkan judulnya padaku.
Lalu aku mulai melontarkan pertanyaan apa isi buku tersebut dengan gaya sok akrab dan gadis itu melayani pertanyaanku dengan sabar dan penuh senyum.
Hmm, tampaknya dia mulai mengerti akan ketidak nyamanan yang aku alami dalam bis kota yang padat itu dan keterasingan untuk segera terbebas dari tempat dudukku yang keras sehingga dengan penuh keikhlasan gadis itu memberikan waktunya untuk menjawab pertanyaanku.
Tanpa kami sadari kami terlibat sebuah diskusi menarik dan asyik.
Aku memang senang membaca dan lebih senang lagi jika diajak seseorang untuk bertukar pikiran tentang sebuah topik dari sebuah materi yang pernah aku baca atau aku ketahui.
Hingga tak terasa tujuan akhir telah tiba.
Gadis itu harus turun lebih dahulu dariku dan apa yang dia lakukan kemudian membuatku cukup ternganga dan sangat berkesan pada pertemuan dengannya.

“Aku ingin memberikan buku ini padamu.”
Subhanallah.
Aku tahu dalam pembicaraan kami tadi bahwa buku itu belum dua jam yang lalu dibelinya di toko buku.
Bahkan sampai halaman pertengahan pun gadis itu belum usai membacanya.
Bagaimana mungkin dia akan memberikannya begitu saja padaku padahal tadi baru saja dia katakan bahwa dia menginginkan buku itu sejak lama sehingga dia menabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk dapat membeli buku itu.

“Tidak. Aku tidak menginginkannya.
Buku itu milikmu, kamu belum selesai membacanya, bacalah dulu sampai selesai.”
Aku menolaknya dengan keras.

“Tapi aku ingin memberikan buku ini padamu.”
Gadis itu tetap bersikeras.
“Tidak. “
“Terimalah. Anggap ini hadiahku untukmu, kamu memang pantas menerimanya.
Ayo, terimalah buku ini sebagai kenang-kenangan dariku karena aku tidak tahu kapan lagi kita akan bertemu di waktu yang akan datang.”
Duhai. Kalimatnya menimbulkan rasa haru yang mendalam, aku termangu sejenak tapi segera tersadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk jadi melankolis. “Tidak. Aku tidak bisa menerimanya.”
“Terimalah hadiahku ini.
Kamu belum membacanya kan, bacalah, aku sudah membacanya sebagian dan isinya sangat menarik, sedangkan kamu belum membacanya sama sekali, aku ingin kamu membacanya juga dan bacalah sampai akhir.”

“Kenapa ? “ Aku bertanya dengan bodoh.
Sungguh aku tidak tahu kenapa gadis itu bersikeras memberikan buku barunya padaku.
“Kenapa kamu ingin memberikan buku barumu padaku, padahal kamu
menginginkan buku ini sejak lama. Kenapa ?”
“Karena aku sayang padamu. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu dan saat ini yang aku miliki adalah buku baruku ini.
Percayalah padaku bahwa aku menyayangi kamu karena Allah semata sehingga jika saat ini kamu menginginkan yang lain dariku, seperti mataku, rambutku, tanganku, semua akan kuberikan padamu detik ini juga karena aku sayang padamu karena Allah semata.”
Aku makin ternganga.
Belum ada satu jam kami berbincang dan diskusi tapi rasa sayang yang dia miliki padaku sudah demikian mendalamnya sementara namanya saja aku sama sekali tidak tahu karena dia memang hanya kujadikan seorang teman untuk membunuh waktu jenuhku di dalam kendaraan tersebut.
Ada sebuah rasa haru yang kian membuncah dalam dadaku mendengar untaian kalimat terakhirnya sekaligus melahirkan sebuah dorongan untuk menerbitkan mutiara bening dari sudut kelopak mataku.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa karena terbalut haru dan buku itu sudah berpindah tangan, diletakkan gadis itu di dalam genggamanku sementara dia bersiap untuk turun dari kendaraan.
Pada perhentian selanjutnya gadis itu mulai berdiri menepi.

“Mbak..makasih yah. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya bahkan kita belum sempat berkenalan.
Mbak juga tidak tahu siapa aku.” Gadis itu hanya tersenyum ramah mendengar kalimatku yang mungkin terdengar sangat bodoh.

“Itu tidak penting. Yang aku tahu kamu adalah saudariku dalam islam.
Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan dengan masing-masing dalam kondisi yang lebih baik.”
Kemudian bis berhenti dan setelah mengucapkan salam, gadis berjilbab itu melesat turun sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalas salamnya sambil tersenyum dan setelah dia menghilang dari pandanganku aku mulai membaca judul bukunya.
“Menjadi Muslimah yang kaffah.”
Hmm, mungkin dia memberikan buku itu karena aku belum berjilbab.
Yup.
Kejadiannya memang sudah lama sekali, sewaktu aku masih kuliah dulu dan masih banyak mempertimbangkan banyak hal sehingga belum timbul keinginan kuat untuk menutupi auratku secara lengkap dengan sebuah hijab yang semestinya.
Aku sangat terkesan dengan peristiwa itu karena di kampus, teman-teman akhwat lain lebih banyak yang memilih untuk tidak menaruh kepercayaan dan kasih sayang sebesar seperti yang diberikan oleh gadis tadi.
Di kampus mereka memberlakukan sebuah jarak dalam membina hubungan denganku yang notabene sebenarnya memiliki agama yang sama dengan mereka hanya saja aku belum berjilbab.
Image muslimah sebagai sebuah kelompok eksklusif dalam kepalaku telah hancur lebur dalam hitungan detik dengan kehadiran gadis berjilbab itu.

Sekarang aku alhamdulillah sudah mengenakan jilbab, sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua orang jundi yang manis.
Kesibukan sehari-hari dalam urusan pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga hampir tidak menyisakan waktu luang bagiku.
Lebih dari itu, kadang timbul sebuah proses pemilihan teman dalam bergaul yang terus terjadi tanpa aku sadari.
Jika ibu-ibu lain di sekitar rumahku sering berkumpul di depan pagar rumahnya maka bisa dikatakan aku jarang sekali ikut berkumpul dengan mereka.
Jika ada acara pertemuan antar ibu-ibu di lingkungan rumahku, entah itu arisan rt, pengajian bulanan, pertemuan bulanan antar warga, atau bahkan acara resmi seperti selamatan atau kenduri, bisa dipastikan aku hanya hadir pada saat acara resmi itu berlangsung saja.
Setelah acara resmi selesai, ketika piring gelas mulai dikumpulkan di tengah tikar, aku memilih untuk segera mengundurkan diri ketimbang ikut bergerombol bersama ibu-ibu yang lain membuat pembicaraan dan acara baru di luar acara inti.
Hmm, aku tetap berusaha untuk bergaul akrab, ikut tersenyum dan bersenda gurau atau berdiskusi dengan teman-teman ibu-ibu rumah tangga yang lain dalam konteks acara yang aku ikuti masih berlangsung.
Setelah itu, setelah acara itu selesai, aku lebih memilih untuk mengundurkan diri lebih karena alasan menghindari kemudharatan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi apa yang dilakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga jika mereka berkumpul dan mulai saling bercengkerama di luar sebuah acara yang terkoordinir.
Mereka akan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan inilah yang aku hindari.
Terlibat dalam pergaulan seperti itu bagiku seperti memakan sebuah buah simalakama.
Dimakan dalam arti kita melibatkan diri; kita akan terpengaruh dengan atmosfere mereka karena mau tidak mau kita akan mengeluarkan suara dan terlibat dalam pembicaraan mereka yang kelak kita akan menyesalinya sendiri.
Pilihan kedua adalah tidak memakannya, yaitu kita tetap diam jadi pendengar dan itu artinya kita membiarkan isi pembicaraan mereka itu akan masuk ke telinga kita tanpa sebuah perlawanan, mengendap di dalam hati dan secara tidak sadar akan menimbulkan sebuah diskusi dengan diri sendiri yang lebih banyak melahirkan sebuah su’udzon dan ketidak nyamanan.
Ada sebuah pembenaran yang aku pegang dalam keputusanku untuk melakukan apa yang menurutku saat ini baik bagiku, yaitu mencegah sebuah kemudharatan itu lebih utama ketimbang menyebarkan manfaat. Hmm, benarkah pembenaran ini ? Wallahu’alam.

Nah, dalam kesibukan memilih teman dalam pergaulan sehari-hari itulah terjadi peristiwa kedua yang juga sangat menyentuh hati dan memberi kesan yang sangat mendalam bagiku.
Kejadiannya terselip dalam peristiwa rutinitas sehari-hari dan dalam waktu yang tidak terduga.
Yaitu waktu shubuh.

Ada sebuah kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan menjelang waktu shubuh.
Yaitu kesempatan untuk berjalan menikmati suasana damai menjelang shubuh berdua saja dengan suamiku. Masjid tujuan kami letaknya lumayan jauh dari rumah dan waktu yang terhampar di selang perjalanan menuju masjid itu biasanya diisi dengan percakapan ringan yang lepas dari rasa kesal, jenuh dan bosan akan rutinitas pekerjaan dan kegiatan.
Yang ada hanyalah senda gurau atau curhat yang diiringi nasehat ringan diseling canda.
Biasanya, setelah melakukan shalat shubuh berjamaah di masjid kami segera bergegas menuju rumah karena tugas rutinitas sehari-hari telah menunggu.
Itu sebabnya waktu berangkat menuju masjid itu menjadi lebih istimewa (menjadi makin istimewa karena kadang kesehatanku yang sering terganggu dan kemalasan akibat kelelahan akan tugas sehari-hari membuat acara manis ini menjadi kian sulit dilakukan).

Hari itu, seperti biasa aku segera melipat perlengkapan shalatku dan mulai bersiap-siap untuk pulang ketika ada seseorang yang menyapaku.
Seorang wanita tua yang tampak tersenyum dan memberiku salam. Aku membalas salamnya sambil ikut tersenyum


“Apa kabar nak ?
kenapa sudah lama sekali tidak kelihatan ?”
sambil beringsut, aku mendekati ibu tua itu dan duduk di hadapannya sambil menyalaminya dengan sopan.

“Sakit bu. Saya sudah beberapa hari ini sakit jadi tidak bisa pergi kemana-mana termasuk ke masjid ini.
Tapi alhamdulillah sekarang sudah sehat kembali. Ibu sendiri gimana kabarnya ?”

“Alhamdulillah sehat nak.”
Ibu itu masih memandangiku sambil tersenyum lembut sekali. Tiba-tiba dia meraih kedua pergelangan tanganku dan memegangnya dengan sangat erat.

“Ibu rindu sekali melihat kedatanganmu.. sudah hampir setengah bulan tidak melihat kamu hadir di sini.”
Aku hanya tersenyum tapi dalam hati tak urung heran.
Setengah bulan, artinya ibu itu menghitungnya.
Artinya lagi, ibu ini tentu jamaah tetap di kala waktu shubuh di masjid ini…wah… bagaimana aku bisa tidak tahu akan kehadiran ibu ini setiap kali aku shalat disini. Hmm, mungkin karena aku selalu tergesa untuk pulang karena memikirkan pekerjaan rumah tangga yang terasa sudah antri untuk dikerjakan.
Duh, betapa tidak pedulinya aku pada lingkunganku selama ini.
Kalimat ibu itu mulai terasa seperti sindiran bagiku.

“Ibu selalu berdoa agar kamu sehat nak… sungguh, ibu mencintai kamu karena Allah dan selalu berharap bisa bertemu kamu di sini, di masjid ini meski ibu sendiri juga tidak yakin karena ibu sudah sangat tua dan makin rapuh.”
Subhanallah….
Kali ini aku sungguh-sungguh merasa terharu.
Selama ini aku tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi pada lingkungan sekitarku.
Aku sibuk dengan urusan keseharianku sendiri, aku sibuk dengan diriku sendiri sedangkan ibu tua di hadapanku, yang mungkin hidupnya lebih susah, lebih kompleks permasalahannya, lebih rumit hal tentang kesehariannya, tetap memiliki kemampuan untuk memperhatikan lingkungannya.

Hmm.. tahukah anda. Kedua peristiwa berkesan di atas itu sebenarnya sebuah nasehat yang sangat manis dari Allah untukku.
Subhanallah. Kadang, sebuah nasehat itu tidak melulu hanya berupa sebuah tausiyah panjang lebar tentang hamparan hadits dan ayat.
Sebuah nasehat bisa juga berupa perbuatan. Sama seperti perbuatan gadis berjilbab di bis kota di atas.
Dengan memperlihatkan keramahan dan kesantunan serta keikhlasannya (sampai sekarang aku tidak pernah sekalipun lagi berjumpa dengannya, semoga Allah merahmatiNya selalu, amin), aku jadi tergugah akan keindahan ukhuwah dalam islam dan kemanisan budi pekerti muslimah sesungguhnya.
Lebih dari itu, muncul semangat untuk benar-benar mewujudkan jati diri sebagai “Muslimah yang kaffah”, seperti nasehat yang diberikan dalam buku yang diberikannya secara cuma-cuma padaku.
Begitu juga dengan ibu tua di dalam masjid itu (hik..hik..aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya, dan aku sampai detik ini tidak tahu siapa namanya, dimana dia tinggal dan informasi apapun tentang dia.
Semoga beliau tetap dalam lindungan Allah SWT). Dengan kelembutan seorang ibu yang bijak, dia mengingatkan aku agar merindukan “masjid” selalu sesibuk apapun kegiatanku... ibu itu juga mengingatkan aku bahwa penilaian akan lingkunganku selama ini sebenarnya tidak selamanya benar.
Bukankah di tengah hamparan rumput hijau di tengah padangpun selalu terselip bunga berwarna cantik yang harum baunya meski keberadaan bunga tersebut kecil mungil nyaris tak terlihat ?
Kehadiran mereka berdua adalah penyejuk dahaga di tengah perjalanan panjang dan membosankan karena keterasingan yang monoton.
Kehadiran mereka adalah pendorong semangat ketika ghirah mulai kendur karena rutinitas keseharian yang mulai menegangkan urat syaraf.
Hmm.. wallahu’alam.

Aku jadi teringat sebuah hadits yang mengatakan bahwa :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”(Dari kitab shahih Muslim, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik).
Begitu besar rasa persaudaraan yang terkandung dalam hadits tersebut hingga tidak ada pemilahan kelompok di dalamnya yang berdasarkan pada beragam suku, ras, golongan, bangsa dan warna kulit. Semuanya adalah keluarga.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara..” (al Hujurat:10).
Mencintai disini adalah menginginkan segala kebaikan yang dia miliki untuk turut pula dirasakan oleh saudaranya.

“Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan dirinya sendiri.”(Dari riwayat Nasa’I).
Kebaikan disini adalah kebaikan “menurut syariat” seperti ilmu yang bermanfaat, amal yang shaleh, dan akibat yang positif.
Tidak ada tempat di sini untuk penilaian yang bersifat subjektif yang sering kita berlakukan jika kita memilih teman tanpa kita sadari.
Sama seperti nasehat halus yang diberikan oleh gadis di bis kota itu padaku. Sementara teman-teman akhwat menolak kehadiranku yang “berbeda” dengan mereka yang berjilbab lebar, maka gadis itu dengan penuh keikhlasan mengajarkan aku arti ukhuwah sesungguhnya dan tanpa sadar memberiku semangat untuk “mengenal islam (agama perdamaian) lebih jauh”. Subhanallah.

Semoga kita semua bisa belajar untuk bisa pula menjadi suri tauladan seperti kedua tokoh “nyata” yang aku temui di dalam hidupku itu.
Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Engkau yang menciptakan ku dan aku adalah hambaMu.
Aku terikat dalam perjanjian dengan-Mu sekemampuanku.
Aku berlindung kepada-MU dari segala kejahatan yang telah aku lakukan.
Aku mengakui nikmat-nikmat-MU kepadaku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa, kecuali engkau” (HR. Bukhari)


Sumber: kafemuslimah.com

Kamis, 20 Januari 2005

Menggapai Cinta Ilahi

Begitu riskannya bara api cinta dimainkan oleh syetan. Bagaikan bensin, syetan akan segera menyulut bara api menjadi kobaran dan jilatan api yang membumbung tinggi. Tanpa arahan hembusan angin yang tepat dan takaran besaran angin yang terukur, asap tebal buah kobaran api itu, tak akan mungkin bisa menerbangkan balon-balon hasrat cinta dan amalnya hingga ke ujung langit. Bahkan jika kita tak bisa mengarahkan-nya, kobaran api syetan itu justru akan menjadi malapetaka, membakar segala sesuatu yang berada disekitarnya. Maka, tinggal seberapa kuat kemampuan kita tidak terseret api asmara syetan hingga berakibat terbakar diri di api neraka.

Begitu pentingnya masalah cinta ini, sampai-sampai para syeikh dan orang-orang arif juga para sahabat nabi sering berkumpul bermudzakaroh, berdialog tentang cinta ini sebagaimana dituturkan oleh Abu Bakar Al Kattany. "Di Makkah diadakan dialog tentang masalah cinta, tepatnya disaat musim haji. Banyak syeikh yang datang mengungkapkan pendapatnya tentang cinta ini. Sementara AI-Junaid saat itu merupakan orang yang paling muda di antara mereka. Orang-orang itu berkata kepadanya, "Sampaikan pendapatmu wahai penduduk dari lrak." Beberapa saat AI-Junaid menundukkan pandangannya dan air matanya pun menetes periahan-lahan. Lalu ia berkata, "Cinta ialah jika seorang hamba lepas dari dirinya, senantiasa menyebut Rabb-nya, memenuhi hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan sepenuh hati, seakan hatinya terbakar karena cahaya ketakutan pada-Nya. Yang minumannya berasal dari gelas kasih sayang-Nya dan Allah Yang Maha Perkasa menampakkan diri dari tabir keghoiban-Nya. Jika bicara atas pertolongan Allah, jika berucap berasal dari Allah, jika bergerak atas perintah Allah, Jika dia beserta Allah, dia diciptakan Allah, bersama Allah dan milik Allah."

Mendengar ini semua syeikh yang hadir disaat itu menangis dan berkata, "Ungkapan ini sudah tidak perlu memerlukan tambahan lagi, semoga Allah menimpakan pahala kepadamu wahai mahkota orang-orang arif" (Madariju sholihin. Ibnu Qoyyim). Dari perkataan Al Junaid itu, maka, tergambar cara mengarahkan bara asmara untuk melambungkan diri hingga mencapai rumah surga.

Membentengi diri dari segala tiupan bisikan syetan, sang jahanam, yang selalu merayu dan berusaha menyeret manusia untuk menjadi teman dan pengikutnya di tempat seburuk-buruk tempat, neraka. Berikut ini langkah-lang kah untuk menggapai cinta Ilahi.

  1. Bacalah Alqur'an dengan mendalami dan memahami makna-maknanya.
  2. Taqarub kepada Allah dengan mengerjakan sholat-sholat na"lah setelah shalat fardhu. Karena yang sedemikian itu bisa menghantarkan seorang hamba ke derajat orang-orang dicintai setelah memiliki cinta
  3. Senantiasa mengingat dan menyebut asma-Nya dalam keadaan bagaimanpun, baik dengan lisan dan hati, saat beramal dan di setiap keadaan. Karena cinta yang didapatkan- nya tergantung dari dzikirnya ini. "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu. (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir, don ia banyak berdzikir kepada AI-lah" (QS. AI-Ahzab:2/).
  4. Lebih mementingkan cinta-Nya daripaqa cinta kepada yang seringkali disetir oleh hawa nafsu. "Dan di an tara manusia ada orang yang menjual dirinya karena mangharap ridha Allah." (AI Baqarah:207).
  5. Mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang dzahir mau- pun bathin, karena yang demikian itu, bisa memupuk cinta kepada-Nya. Karena seorang pecinta sejati, menurut Ibnu Athaillah, bukanlah orang yang mengharap imbalan atau menuntut balasan dari yang dicintainya. Sebab orang yang mencintai dirimu adalah orang yang berkorban untukmu, dan bukan engkau yang berkorban untuknya.
  6. Kepasrahan hati secara total dihadapan Allah. "Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Al-lah" (Albaqarah :165).
  7. Bersama Allah pada setiap saat dengan bermunajat kepada-Nya, membaca kalam-Nya, menghadap padanya dengan segenap hati. Memperhatikan segala amalan ibadah ubudiyahnya dihadapan-Nya. Kemudian menutup dengan istighfar dan taubat. Munjat dan do'a' inilah inti dari seluruh ibadah. "Doa adalah inti ibadah" (At Turmidzi).
  8. Berkumpul bersama orang-orang yang juga sama-sama mencintainya secara tulus, memetik buah-buah yang segar dari perkataan mereka. Sebagaimana memetik buah segar dan ranum dari pohon. Karena dalam lingkungan ini, tidak ada perkataan kecuaJi perkataan yang mendatangkan maslahat. Menambah kebaikanmu dan memberi manfaat orang lain. Ibnu Atha'illah berkata, "Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat, adalah ridha terhadap nafsu. Sedang sumber ketaatan, kesadaran dan iffah (rneninggalkan hal terlarang) adalah tidak adanya keridhaan dirimu terhadap nafsu."
  9. Menyingkirkan segala sebab yang dapat membuka jarak antara hati dan Allah. Ibnu Taimiyah menyatakan "Mereka dicela karena membuat persekutuan antara Allah dan sembahan-sembahan mereka dalam cinta. Dan mereka tidak memurnikan cinta itu seperti cintanya orang-orang mukmin".
  10. Jangan mendekati zina dan tempat-tempat zina. Karena itu adalah tempat-tempat berkumpulnya syetan.
  11. Hindarilah khalwat (menyendiri) dengan lawan jenis. Karena itulah peluang yang paling besar dari syetan untuk menghujamkan nafsu cinta dalam bentuk syahwat pada kedua-nya
  12. Zakatilah harta kekayaan mu. Karena itu bukti cintamu atas rizki yang diberikan-Nya.
  13. Jagalah pandangan. Karena mata seringkali diguna- kan syetan sebagai panah asmara dari busur cinta. Yang ketika menghujam pada seseoran akan menusuk dan merusak hati.

Dengan inilah, orang yang mencintai tentu akan sampai pada kedudukan cinta dan bergabung bersama sang kekasih sesungguhnya. ***