Sabtu, 17 Juni 2006

“Jangan langsung diputuskan, tapi pikirkan dulu….”

Herlini Amran M.A.
10/24/2003 11:15:44 AM -


Jika sebuah proposal nikah datang, siapa yang harus menjawab?
Hal mendasar dalam pernikahan seorang perempuan adalah menjadi kewajiban orang tuanya untuk mencarikan jodohnya. Sehingga ketika ada yang mengajukan lamaran, atau sebutlah pra khitbah, maka orang tuanya harus memberikan pertimbangan yang matang. Ada hadits - jika datang seorang laki-laki yang engkau ridhoi dan berakhlak baik, maka nikahkanlah- , itu untuk wali bukan untuk anak perempuannya. Dengan adanya ikut campur orang tua, resiko apapun setelah menikah, ditanggung bersama. Orangtua tidak nyalahin, kamu sih milihnya? Pernikahan itu kan tidak selalu mulus, ada riak-riak, atau mungkin gelombang, ada keretakan.

Bagaimana jika orangtua menyerahkan pada anak?
Makanya kadang muncul permasalahan, dia bingung dan bimbang, boleh atau tidak.

Bimbang untuk menerima karena merasa tidak sreg?
Nggak sregnya kenapa? Karena dia lebih pendek? Ini masalah hawa nafsu, keinginan yang tidak ada landasan syarinya. Sebenarnya, kalau sudah menikah, cinta akan datang, Allah akan pertautkan hati mereka. Jadi, apa alasannya? Karena pertimbangan syariah atau hawa nafsu, atau bimbang menimbang-nimbang karena ada dua proposal datang bersamaan.

Jika hati memang tidak sreg, apa boleh langsung ditolak?
Sebaiknya jangan langsung diputuskan, tapi pikirkanlah dulu. Shalat Istikharah dan bermusyawarahlah dengan orangtua dan orang-orang terdekat yang lebih shalih, lebih alim dan lebih berpengalaman. Bukankah Allah mengingatkan bahwa bisa jadi apa yang engkau sukai itu tidak baik bagimu, atau apa yang engkau tidak sukai malah itu baik bagimu?

Alasan menolak proposal menikah?

Seperti kata imam SyafiI, kita harus mencari pasangan yang sekufu dalam masalah agama. Tapi kalau karena alasan miskin, itu tidak bisa dijadikan alasan syarI. Pada prinsipnya, menolak itu boleh, tapi hati-hati saja pada fitnah yang datang sesudahnya.

Fitnahnya itu bagaimana?
Kalau pada masa Rasul, jika orang shalih ditolak, khawatir dia akan menikah dengan orang yang tidak baik, sehingga timbullah kerusakan atau terjadi ketidakseimbangan, atau dia jadi tidak menikah. Kalau sekarang, karena terlalu banyak pilah-pilih, akhirnya memperpanjang masa lajang.

Jadi, dari pada nanti nggak ada yang datang, terima aja proposal yang ada?
Tergantung niatnya. Segala sesuatunya harus ikhlas, ridho dan penuh kesabaran. Kembalikan kepada Allah.

Bolehkah menetapkan kriteria pasangan berdasarkan fisiknya, keadaan ekonomi, status sosial, pendidikan, atau suku?
Itu alasan-alasan yang bersifat duniawi. Menikah itu kan untuk saling meningkatkan kualitas diri. Jadi kalau ada kekurangan pasangan, ya saling memperbaiki. Manusia itu makhluk yang bisa beradaptasi.

Bagaimana jika ada yang melamar karena kecantikan kita, bukan alasan agama?
Itu bisa digali dari orang ketiga, makanya perlu mediator yang netral, objektif, dan bisa memberikan penilaian. Jangan berburuk sangka dulu.

Kalau masalah fisik, misalnya, perempuannya putih tinggi dan laki-lakinya pendek hitam?
Kalau agamanya baik, kenapa tidak? Ada kasus di masa Harun Al Rasyid. Seorang perempuan cantik sekali, akhlaknya juga baik. Suaminya jelek dan akhlaknya juga nggak baik. Ketika seseorang mengasihani dirinya, sang perempuan berkata bahwa dia bersyukur dan bersabar dengan keadaannya. Ia bersyukur atas nikmat kecantikan dan keshalihan dirinya; mudah-mudahan dapat membawa ke surga; ia pun bersabar dengan keadaan suaminya.

Bagaimana dengan kasus Zainab dan Zaid yang akhirnya bercerai?
Kasus itu sebenarnya tidak bisa dijadikan sumber hukum bahwa tidak sekufu dalam masalah fisik dan status sosial (Zainab adalah perempuan bangsawan yang cantik, sedangkan Zaid adalah mantan budak Rasulullah yang hitam, red) membuat terjadinya perceraian.

Melalui kasus ini, Allah ingin menjadikan pelajaran bagaimana seorang bapak angkat boleh menikahi mantan istri anak angkatnya. Dulu itu, seorang bapak angkat tidak boleh menikahi istri anak angkatnya, dan Allah ingin mengubah ketentuan itu.

Menolak karena masalah fisik, memang itu tidak sepenuhnya salah. Sebab, dalam menikah itu boleh memilih dengan kriteria kecantikan, keturunan atau kekayaannya, tapi yang utama adalah memilih karena agamanya.

Apakah perempuan harus selalu menunggu, bagaimana dengan Khadijah?
Umumnya perempuan itu itu pasif. Tapi, ada juga cara-cara lain, misalnya, mengajukan diri dengan tetap melalui pihak ketiga, tidak secara langsung. Pernah seorang sahabiyat menawarkan diri pada Rasulullah, tapi beliau kurang berkenan. Sahabat yang mengerti situasi, meminta pada Rasullah untuk dinikahkan dengan perempuan tadi. Ya, sahabiyat itu imanya itu imannya kuat, tidak sakit hati karena Rosullah menolaknya. Apa muslimah sekarang siap mental?


Berapa lama batas waktu menjawab proposal nikah?
Tidak ada batas waktu, tergantung pada kesepakatan. Kalau ia memberikan batas waktu, misalnya satu bulan, maka kalau tidak ada jawaban berarti tidak dan ia akan mencari yang lain. Tapi semakin cepat memang semakin baik. Jangan banyak bimbang.

Bagaimana cara menolak?

Kalau masalah teknis, tergantung etika, agar tidak menyakiti hati. Yang diperhatikan, perkataan yang maruf, yang baik, yang benar, yang jujur, yang betul-betul bisa difahami dan tidak menyinggung perasaan.

Bagamana kalau laki-laki itu tetap mendesak dengan dalih saya yakin kamu jodoh saya loh ?

Itu tergantung hati, sejauh mana dia yakin? Kalau dia memang yakin, coba aja terus, tapi tidak boleh memaksa. Jangan macam-macam, misalnya ke orang pinter. Itu dibenarkan. Tapi selama dia yakin itu jodohnya, dia berjuang sekuat tenaga, itu haknya.