Minggu, 25 Februari 2007

Mengurus Jenazah


Mengurus jenasah adalah bagian dari ibadah. Rasulullah banyak memberi contoh tentang bagaimana cara kita mengurus jenasah. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk senantiasa menghidupkan sunnah beliau khususnya dalam mengurus jenasah ini. Agar kita semua lebih paham tentang tata cara mengurus jenasah berikut kita tampilkan edisi bersambung ‘CARA MUDAH MENGURUS JENAZAH’. Tulisan ini diambil dari Kitab terjemahan Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Fauzan yang diterbitkan oleh Alam Pustaka Islamy Yogyakarta. Selamat mengikuti….

Pesan Nabi Agar Bersiap Menyambut Mati

Kita dianjurkan untuk banyak-banyak mengingat mati dan bersiap menyambutnya, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam,

"Banyak-banyaklah mengingat “Sang Pemutus Kelezatan”, yakni maut .’

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah, derajat shahih sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hibban, hakim, dan yang lainnya)

Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan penyakit, namun Allah juga telah menyediakan obatnya. Oleh karena itu meskipun penyakit yang diderita oleh seseorang bisa jadi akan mendatangkan maut, namun diperkenankan berobat dengan hal-hal yang cara pengobatan dan bahan obatnya mubah hukum pemakaiannya. Tidak diperkenankan berobat dengan hal-hal yang diharamkan baik berupa makanan atau yang lainnya seperti khamr (minuman keras) dan segala sesuatu yang najis. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab Shahih, dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan yang haram (sebagai obat bagi) ksesembuhan (penyakit yang diderita) umatku.’ (HR.Bukhari)

Demikian pula kita tidak boleh berobat dengan hal-hal yang dapat merusak akidah seperti sihir, menyembilah dan mengorbankan sesuatu bukan untuk Allah atau yang sering dikatakan sebagai tumbal, mendatangi atau meminta pertolongan penyembuahan kepada dukun dan para normal.

Seorang yang sakit wajib baginya segera bertaubat. Sebenarnya masalah bertaubat tidaklah hanya dilakukan ketika dalam keadaan sakit, akan tetapi wajib melakukannya dalam segala keadaan, tentunya lebih-lebih jika dalam keadaan sakit.

Seorang yang sakit hendaklah berwasiat tentang segala sesuatu yang menyangkut hak-hak orang lain. Adapun wasiat-wasiat tersebut mungkin berupa hutang-piutang, titipan (pesan atau sesuatu yang diamanahkan), hingga masing-masing pihak menerima kembali apa yang menjadi hak-haknya. Demikian pula dengan wasiat yang berhubungan dengan hak- anak-anaknya yang masih kecil agar diperhatikan.

Dianjurkan membisikkan (mental-qin) kalimat lailahailallah di telinga orang yang tengah mengalami sakratul maut, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam

“ Bisikkan kepada orang yang akan mati di antara kalian kalimat lailahailallah”
(hadist riwayat muslim)

Demikian pula dianjurkan menghadapkan orang yang tengah sakratulmaut kearah kiblat. Apabila ia telah menghembuskan nafas terahir dianjurkan memejamkan kedua matanya dan menutup jasadnya dengan kain. Jika tidak ada sesuatu yang menghalangi, segeralah menyiapkan segala sesuatu yang berkenan dengan proses pengurusan jenazahnya.

Perkara yang harus segera dilaksanakan adalah membayar hutang- hutang jenasah dan menunaikan wasiat – wasiat, sebagaimana sabda rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam.

‘’ Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutang- hutangnya hingga hutan tersebut dilunasi ’’

( hadist riwayat ahmad dan di – hasankan sanad-nya oleh tirmidzi)


Kain Kafan

Kain kafan yang memenuhi syarat (wajib) adalah yang menutup seluruh jasad jenazah. Kain kafan dianjurkan yang berwarna putih bersih dan baru. Namun demikian bisa pula yang berwaarna puih setelah dicuci bersih.

Bagi jenazah laki-laki dikafani dengan tiga lapiis kain, sedangkan jenazah wanita dikafani dengan sarung, kerudung, baju panjang(qamihs) dan kemudian dibalut dengaan dua lembar kain. Adapun jika jenazah tersebut anak kecil laki-laki, dikafani dengan satu atau tiga jlapis kain. Sedang untuk anak perempuan dikafani dengan kain panjang (qamish), kemudian dibalut dengan dua lapis kain.

Alangkah baiknya bila kain kafan diperciki dengan air ramuan bunga mawar atau wewangian lainnya, kemudian diasapi dengan kayu gaharu atau sesuatu yang dapat membuat kain kafan menjadi harum.

CARA MENGKAFANI JENAZAH LAKI-LAKI

Pertama-tama dilapisi tiga lapis kain dibentangkan kemudian-dengan aurat yang tetap tertutup-jenazah diletakkan ditengah-tengah kain tersebut dengan posisi terlentang. Setelah itu belahan pantat ditutup dengan kapas yang telah diberi wewangian. Kemudian kapas tersebut diikat denga potongan kain agar tidak jatuh dan terlepas. Selanjutnya kapas wangi tersebut juga diletakkan pada mata, hidung, mulut, telinga dan pada anggota-anggota sujud jenazah; kening, hidung, lutut, dan kedua ujung kaki. Demikian pula pada lipatan-liatan tubuh seperti; ketiak, dua lipatan pada bagian belakang lutut, serta pusar, kepala jenazah dan sekitar kafan diberi wewabngian kapaas yang serupa.

Setelah selesai memberikan kapas pada bagian-bagian jasad jenazah, lambar pertama dilia. Adapun sisi yang dilipat adalah sisi kain sebelah kiri jenazah, sehigga menutup seluruh jasad jenasah. Setelah itu sisikain sebelah kanan jenazah ddilipat menimpa sisi kain sebelah kiri. Demikian seterusnya hingga pada lembar kedua dan ketiga.

Perlu diperhatikan, kain sebelah kepaa hendaknyalah dilebihkan, demikan kafan dibagian kaki. Hanya saja lebihan kain dibagian kepala lebih panjang dari pada bagian kaki.

Setelah bagian jasad jenazah terbungkus, lalu ketiga lapis ujung bagian kepala dikumpuulkan menjadi satu dan diikat persis diatas wajah jenazah. Demikian pula ujung kafan bagian kaki dikumpulkan dan diikaat persis diatas jari kaki. Setelah iu, bagian tubuh jenazah juga diikat agar kafan tidak terlepas. Namun ketika berada di liang lahat, ikaan-ikatan tersebut dibuka kembali.

CARA MENGKAFANI JENAZAH WANITA

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa jenazah wanita dikafani dengan lima lapisan, yakni memakai sarung, baju panjang (qamish), dan kerudung, kemudian dibalut dua lapis kain. (Adapun cara membalutnya sama dengan cara membalutnya jenazah laki-laki, ed).

Dari Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Barangsiapa yang menyaksikan (berada di tempat) jenazah hingga ia ikut menshalatkannya, maka dia memperoleh pahala satu qirath. Adapun barangsiapa yang menyaksikan (berada di tempat jenazah) hingga mayat tersebut dikubur, maka dia memperoleh pahala dua qirath. Ditanyakan pada beliau apakah dua qirath itu? Beliau menjawab: "seperti dua gunung besar".

(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Menshalatkan jenazah hukumnya fardhu kifayah, yakni apabila telah ada sebagian orang yang menshalatkan, maka orang lain yang tidak ikut mengerjakan telah terlepas dari kewajiban. Hal itu bukan lagi merupakan sesuatu yang wajib baginya, namun lebih baik apabila dia mau ikut mengerjakannya (sunnah). Akan tetapi apabila tak seorangpun dari orang yang mengetahui kematian tersebut menshalatkan jenazah, maka seluruhnya menanggung dosa.

Beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai syarat syahnya pelaksanaan shalat jenazah, yakni memasang niat dalam hati bahwa ia hendak melaksanakan shalat jenazah, menghadap kiblat, menutup aurat yang melaksanakan shalat maupun yang dishalati dalam keadaan suci, jenazah telah berada di tempat tersebut, yang menshalatkan jenazah adalah orang yang beragama Islam yang telah baligh dan berakal atau orang telah memenuhi syarat melaksanakannya (mukallaf).

Adapun yang termasuk rukun dalam shalat jenazah adalah dilakukan dengan berdiri menghadap jenazah, mengumandangkan takbir sebanyak empat kali, membaca surat Al-Fatihah, mengucapkan shalawat untuk Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, berdo'a untuk jenazah, melaksanakan dengan tertib sesuai dengan urut-urutan yang telah ditentukan, mengucapkan salam sebagi penutup shalat.

Hal-hal yang di-sunnah-kan adalah setiap kali mengucapkan takbir disertai dengan mengangkat kedua tangan, membaca ta'awudz (a'udzu billahi minasy syaithanir rajim) sebelum membaca surah Al-Qur'an, berdo'a untuk dirinya sendiri (orang yang menyalatkan) dan untuk seluruh kaum muslimin, berhenti atau diam sejenak setelah takbir yang ke-empat sebelum mengucapkan salam, posisi tangan ketika bersedekap setelah takbir adalah tangan kanan di atas tangan kiri dan meletakkannya di dada, menoleh ke kanan ketika salam, tidak mengeluarkan suara ketika membaca (sirr).

Apabila jenazah yang dishalatkan itu laki-laki, posisi imam atau orang yang shalat sendirian persis tepat di dada jenazah.1) Adapun jika jenazah wanita, posisi yang menshalatkan (imam atau orang yang shalat sendirian) tepat berada di tengah jenazah.

Jumlah shaf sebaiknya diatur dalam tiga shaf.

Selanjutnya mengumandangkan takbir (yajni takbir pertama, ed). Setelah mengucapkan takbir langsung membaca ta'awudz dan basmalah, kemudian dilanjutkan dengan membaca surat Al-fatihah. Tidak perlu membaca do'a iftitah, (sebagaimana dilakukan pada shalat-shalat yang lain, ed).

Pada takbir kedua, membaca shalawat untuk Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dyang dibaca ketika duduk tahiyat dalam shalat, (yakni allahuma shalli'ala muhammad wa 'ala ali muhammad kama shallaita 'ala ibrahaim wa 'ala ali ibrahim innaka hamidum majid, ed).

Pada takbir ketiga berdo'a untuk jenazah, dengan do'a yang telah dicontohkan (ma'tsur), yakni antara lain :

Allahumaghfirli hayyinaa, wa mayyitinaa, wa syahidana, wa ghaaibinaa, wa shoghiirinaa, wa kabiirinaa, wa dzakarinaa, wa untsaanaa. Innaka ta'lamu manqolibinaa, wa mats-waanaa wa anta 'ala kulli syain qodiir. Allahuma man ahyaitahu minna fa ahyihi 'ala islami was sunnati, wa man tawaffaitahu minna fatawaffahu 'alaihima, Allohummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi, wa fuanhu, wa akrim nuzulahu wa wasi' mudkholahu, waghsilhu bilmai was salji wa barodi wa naqqihi minadz dzunubi wal khothoya kama yunaqqots tsaubu abyaddhu minad danas, wa abdilhui daro khoira min daa rihi wa zaujaa khoiram min zaujih, wa adkhilhul jannah wa a'idzhu min 'adzaabil qobri wa 'adzaabin naar waf sakh lahu fi qobrihi wa nawwir lahu fii hi".

Artinya : " Ya Allah, ampunilah kami, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, yang hadir di sini maupun yang tidak hadir, yang kecil maupun yang besar, yang laki-laki maupun yang wanita. Engkau Maha Tahu tempat kami dan tempat istirahat kami. Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, barang siapa yang Engkau hidupkan diantara kami maka hidupkanlah di atas Islam dan sunnah (ahli sunnah, pent). Barang siapa yang Engkau matikan diantara kami maka matikanlah di atas Islam dan sunnah. Ya Allah ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkanlah dia, ma'afkanlah dia, baguskanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburnya, mandikanlah ia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah ia dari dosa dan kesalahan sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Jadikanlah rumah yang lebih baik dari rumahnya, pasangan yang lebih baik dari psangannya, masukkanlah ia ke dalam sorga dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab neraka. Lapangkanlah ia dalam kuburnya dan berilah ia cahaya didalamnya".

Do'a tersebut di atas khusus untukkata ganti orang laki-laki atau untuk jenazah laki-laki. Oleh karena itu, apabila jenazahnya perempuan, maka kata ganti tersebut diganti dengan kata ganti orang ketiga (dhamir muannats), sehingga menjadi'allahumaghfirlaha warhamha dan seterusnya.

Adapun jika jenazah tersebut anak kecil maka bunyi do'anya adalah:

" Allahumaj 'alhu dzukhro liwaalidaihi wa farotho wa ajroo wa syafii'aa mujaa baa. Allahuma tsaqqil bihi mawaa ziinahumaa wa a'dzimbihi ujuurohumaa. Walkhiqhu bishoolihi tsalafil mu'miniina wa aj'alhu fii kafaa lati ibroohiima wa qihi birohmatika 'adzabal jahiimi".

Artinya: " Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan (tabungan amal) bagi kedua orang tuanya, sebagai bunga harta, sebagi pahala, sebagai pemberi syafa'at yang diterima. Ya Allah, beratkanlah dengannya timbangan kedua orangtuanya, besarkanlah dengannya pahalakedua orangtuanya. Gabungkanlah ia bersama pendahulu kaum mukminin yang shaleh. Jadikanlah ia dalam tanggungan Ibrahim, serta peliharalah ia dengan rahmat-Mu dari azab jahannam."

Setelah membaca do'a tersebut, lalu takbir keempat dan diam sejenak, kemudian salam ke arah kanan.(Adapun salam ke arah kiri boleh juga dilakukan, akan tetapi tidak melakukannyapun tidak mengapa, pent).

Apabila ada diantara orang yang ingin ikut menshalatkan namun terlambat dan tidak sempat mengikuti sebagian shalat tersebut, hendaklah ia tetap langsung bergabung dengan imam (jama'ah). Setelah imam menyelesaikan shalat, maka hendaknya ia menyempurnakan bagian-bagian shalat yang belum dikerjakannya.

Bila dikhawatirkan jenazah segera dibawa ke kubur, hendaknyalah orang yang terlambat tersebut menyingkat atau memendekkan jarak antara takbir yang satu dengan yang lain, kemudian salam. Sedang bagi orang yang tidak sempat menshalatkan jenazah sebelum dikuburkan, dibolehkan menshalatkannya dikuburnya.

Adapun bagi orang yang tidak berada di tempat jenazah diurus (atau bertempat tinggal jauh dari tempat jenazah, ed). namun ia mengetahui musibah kematian tersebut, maka ia dapat melakukan shalat ghaib dengan niat menshalatkan jenazah.

Selain orang dewasa dan anak-anak, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yang juga wajib dishalatkan adalah janin dari seorang wanita yang keguguran, apabila janin tersebut telah berusia empat bulan atau lebih.

MENGUSUNG DAN MENGUBURKAN JENAZAH

Mengusung dan menguburkan jenazah termasuk fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang mengetahui adanya kematian tersebut. Al-Qur'an dan hadist-hadist Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menguburkan jenazah adalah hal yang disyari'atkan dalam agama, sebagaimana berikut :
"Bukankah Kami menjadikan bumi sebagai tempat berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati." (Al-Mursalat: 25-26).
"Kemudian Allah mematikannya, lalu menguburkannya." (Abasa: 21).

Demikian pula dikatakan dalam banyak hadist (mustafid) bahwa menguburkan jenazah merupakan perbuatan bakti, taat (yakni bakti dan taat kepada Allah, pent) dan juga sebagai kemuliaan bagi jenazah.

Dianjurkan mengantar jenazah hingga ke kuburnya. Dalam kitab Bukhari-Muslim disebutkan :
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang menyaksikan (berada di tempat) jenazah hingga ia (ikut) menshalatkannya, maka dia memperoleh pahala satu qirath. Adapun barangsiapayang menyaksikan (berada di tempat) jenazah hingga dikubur, maka dia memperoleh pahala dua qirath. Ditanyakan pada beliau shalallahu 'alaihi wa sallam apakah dua qirath itu? Beliau menjawab: "seperti dua gunung besar." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat yang diperoleh dari Bukhari tersebut lafal:"siapa yang mengantarkan" yang semakna dengan lafal: "Barangsiapa yang menyaksikan" pada hadist di atas. Adapun dalam riwayat Muslim lafal tersebut berbunyi; "siapa yang ke luar bersamanya kemudian mengikutinya hingga dimakamkan."
Hadist-hadist dari berbagai riwayat di atas mengandung anjuran untuk mengantarkan jenazah menuju kuburnya.

Di-sunnah-kan bagi orang yang ikut mengantarkan jenazah ke kuburnya untuk ikut serta menggotong keranda jenazah.
Bila tempat pemakaman jauh, tidak mengapa membawa jenazah dengan mobil atau dengan binatang tunggangan. Dalam mengusung kerenda jenazah Nabi menganjurkan hendaknya sedikit dipercepat, sebgaimana sabda beliau:
"Bergegaslah membawa jenazah, sebab bila jenazah itu orang shaleh berarti kalian segera membawanya menuju kebaikan. Apabila dia bukan orang shaleh, berarti kalian segera melepaskan kejelekan dari leher-leher kalian." (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).


Namun demikian, meskipun ada anjuran untuk sesegera mungkin mengusung jenazah, akan tetapi tidaklah terlalu tergesa-gesa benar. Hendaknyalah orang-orang yang mengusung jenazah itu mengantarkannya dengan tenang. Ketika mengusung tersebut tidak dibenarkan mengucapkan lafal-lafal atau do'a-do'a tertentu, lebih-lebih lagi bila membacanya dengan suara yang terdengar (jahr) atau bahkan meraung-raung dengan mengucapkan "mintakanlah ampun baginya" atau lafal-lafal yang sejenisnya. Perbuatan semacam itu adalah perbuatan bid'ah (yakni perbuatan atau cara-caramengusung jenazah yang bukan berasal dari petunjuk nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, ed.). Selain itu perbuatan yang demikian meniru cara (mengusung jenazah) yang digunakan ahlul kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nashrani.

Bagi para wanita dilarang ikut mengantarkan jenazah ke kubur. Adapun hukumnya adalah haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist Ummu 'Athiah:
"Kami (para wanita) dilarang mengikuti jenazah." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
Tidak pernah wanita-wanita di jaman nabi shalallahu 'alaihi wa sallam ikut mengantarkan jenazah. Dengahn demikian mengantar jenazah berlaku khusus bagi kaum laki-laki.

Nabi menganjurkan agar memperdalam dan memperlebar kubur, sebagaimana sabda beliau shalallahu 'alaihi wa sallam :
"Galilah, luaskanlah dan dalamkanlah." (Hadist riwayat Timidzi dengan derajat hasan).
Khusus bagi jenazah wanita, disebabkan jenazah merupakan aurat, ketika menurunkannya ke liang lahat hendaklah menutup kuburnya dengan kain atau semacamnya.
Adapun ketika meletakkan jenazah di liang lahat, hendaklah orang-orang yang meletakkan tersebut membaca sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
"Bila kalian meletakkan jenazah dalam kubur, maka ucapkanlah bismillah wa'ala millati rasulillah." (Hadist riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi dan mengatakan bahwa derajat hadist tersebut hasan).
Maknanya adalah "dengan nama Allah atas ajaran Rasulullah."

Di dalam liang lahat jenazah diletakkan dalam posisi miring dengan sisi kanan jasad jenazah di bawah dan menghadap kiblat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang Ka'bah:
"Ka'bah adalah kiblat kalian (baik ketika masih) hidup maupun (ketika telah) mati." (Hadist riwayat Abu Dawud dan perawi-perawi yang lain).
Di bawah kepalanya diletakkan bantalan dari tanah, batu atau batu bata. (Sisi jenazah bagian depan, dari kepala hingga kaki, ed) didekatkan atau disandarkan ketanah didepannya. Kemudian di bagian punggung jenazah diletakkan ganjal yang berupa tanah agar jenazah tidak terbalik ke belakang. (Dengan merapatkan bagian depan jenazah ke tanah di depannya dan memberi ganjal pada punggung, posisi jenazah tetap dalam keadaan miring dan menghadap kiblat, ed). Selanjutnya lahat ditutupi dengan batu bata atau tanah hingga rapat. Setelah itu kuburan diuruk dengan tanah bekas galian. Tidak diperkenankan menambahnya dengan tanah yang lain. Setelah itu bagian atas kubur ditinggikan sekitar satu jengkal dari tanah dan membentuk gundukan cembung agar air dapat mengalir ke sisi-sisi pinggirnya. Supaya tanah tidak bersebaran berilah batu kerikil dan kemudian diperciki dengan air, sehingga tanah menjadi lengket dan padat.

Maksud atau hikmah meninggikan kuburan barang sejengkal adalah agar orang-orang tahu bahwa itu adalah kuburan, sehingga mereka tidak menginjaknya. Ada baiknya juga meletakkan batu kerikil di sisi-sisi pinggirnya sebagai pembatas dan tanda agar mudah dikenali oleh para keluarganya. Tidak perlu memberi tanda lain, seperti tulisan dan sebagainya.
Alangkah baiknya bila telah selesai menguburkan, kaum muslimin berdiri dekat kubur mendo'akan dan memintakan ampun bagi jenazah dengan ikhlas. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bila telah selesai menguburkan jenazah, beliau berdiridi dekat kubur tersebut dan bersabda:
"Mintalah ampun bagi saudara kalian dan mohonkanlah baginya kemantapan karena sekarang dia akan ditanya." (Hadist riwayat Abu Dawud).

Terdapat sebuah kebiasaan yang telah melekat dan tersebar di tengah-tengah masyarakat, yakni membacakan Al-Qur'an di kuburan. Ketahuilah bahwa perbuatan atau kebiasaan tersebut adalah bid'ah (atau perbuatan yang tidak pernah dicontohkan dan diajarkanRasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, serta para shahabat-shahabat beliau, ed). Seluruh perbuatan bid'ah itu adalah perbuatan sesat (dan merusak agama).
Tidak dibenarkan mendirikan sesuatu bangunan, (seperti membuat nisan, kijing, cungkup dan sebagainya, ed) diatas kuburan. Tidak pula dibenarkan mencat atau mengkapur, serta menulis sesuatu padanya. Sebuah hadist yang diriwayatkan dari Jabir menegaskan hal ini:
"Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melarang mengkapur kuburan, melarang duduk di atasnya dan melarang mendirikan bangunan di atasnya." (Hadist riwayat Muslim).
Di dalam kitabnya Tirmidzi meriwayatkan hadist dari Jabir secara marfu' bahwa, "Rasulullah melarang mengkapur kuburan, melarang menulis sesuatu pada kuburan dan dilarang menginjaknya". (Hadist riwayat Tirmidzi dan beliau mengatakan bahwa derajat hadist tersebut hasan).

Adanya perlakuan-perlakuan tertentu yang dilarang Rasulullah tersebut disebabklan yang dpat membuat kuburan menjadi perantara (wasilah) menuju kesyirikan, yakni dengan menggantungkan harapan pada kuburan. Kuburan yang dihiasi sedemikian rupa, sangat mungkin akan membuat orang yang lemah akidah dan tipis iman, serta orang yang tidak memiliki pengetahuan agama (jahil) akan menjadikan kuburan sebagai tempat bergantung.
Juga tidak dibenarkan memberi penerangan pada kuburan, baik dengan lilin atau listrik atau sebagainya; menjadikannya sebagai masjid atau membangun masjid di atasnya; shalat di kuburan atau shalat menghadapnya (kecuali terdapat batas atau tembok ya ng membedakan batas antara kuburan dengan masjid, ed). Adapun hukum melakukan hal-hal tersebut adalah haram.

Haram hukumnya bagi kaum wanita melakukan ziarah kubur dengan sering-sering, sebagaimana sabda Nabi:
"Allah melaknat wanita yang berziarah kubur. Demikian pula orang yang membangun masjid di atas kuburan dan meneranginya." (Hadist riwayat Ahli Sunan dengan sanad shahih).

Di dalam kitab Bukhari dan Muslim diterangkan bahwa Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.

Mengagungkan kuburan dengan mendirikan bangunan pada kuburan tersebut merupakan cikal bakal terjadinya kesyirikan atau perbuatan syirik di alam semesta.
Menghina kuburan, dengan berjalan diatasnya, menginjaknya dengan sandal, duduk di atasnya, menjadikannya tempat sampah dan tempat buang air adalah haram hukumnya. Sebagaimana sebuah hadist yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah secara marfu' (yakni sampai ke Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam):
"Sungguh, lebih baik bagi kalian duduk di atas bara api yang membakar pakaian hingga kulitnya, daripada kalian duduk diatas kuburan." (Hadist riwayat Muslim).

Imam Ibnul Qoyyim berkata: "Bagi siapa yang mengamati larangan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam untuk tidak duduk di atas kuburan, tidak menginjaknya dan lain-lain, ia akan tahu bahwa sesungguhnya larangan itu dimaksudkan untuk memuliakan penghuni-penghuninya agar kepala mereka tidak diinjak dengan sandal."

1) Adanya larangan melakukan ziarah kubur yang sering-sering bagi kaum wanita karena dikhawatirkan mereka tidak kuat menahan emosi atau perasaan ketika melakukan ziarah tersebut, seperti menjerit, meratap, merobek pakaian dan lain-lain yang dikatakan sebagi perbuatan maksiat. Bila hal ini terjadi, maka menyimpanglah tujuan ziarah kubur tersebut dari tujuan yang sebenarnya, yaitu mengingat negeri akhirat. Lihat kitab Bahjatun Nadzirin Syarh Riyadush Shalihin hal. 91-93. Demikian pula di dalam kitab Ahkamun Janaiz wa Bidauha Hal. 180, karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani disebutkan bahwa diperkenankan bagi kaum wanita melakukan ziarah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha ketika menziarahi kuburan saudara lelakinya, yakni Abdur Rahman bin Abu Bakar. Namun demikian juga ditekankan bahwa ziarah tersebut tidak dilakukan dengan sering-sering. (pent.)


MENGHIBUR KELUARGA JENAZAH (TAKZIYAH)

Dianjurkan menghibur keluarga jenazah dan menasehati mereka agar bersabar dan berdo’a bagi jenazah. Anjuran tersebut sebagaimana diketahui dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amr dan Ibnu Hazm secara marfu’:

“Tiadalah seorang mukmin yang menghibur saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaian kemuliaan untuknya pada hari kiamat.” (Hadits riwayat Ibnu Majah).

Masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang semakna dengan hadits diatas.

Adapun do’a yang dibaca ketika mengadakan takziyah, yakni:

“Semoga Allah menambah pahala bagimu dan menghiburmu dengan (hal-hal) yang baik, serta mengampuni dosa-dosa keluargamu yang wafat.”

Sering didapati pada masyarakat sekarang ini, suatu takziyah dibuat sebagaimana orang yang mengadakan pesta, ed), bahkan mengumumkannya ke mana-mana. Tidaklah tepat memberlakukan suatu takziyah secara demikian. Namun alangkah baiknya apabila justru membantu keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, seperti yang dicontohkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam :

“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang pada mereka apa yang menyibukkan mereka.” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Dilain pihak, terkadang justru pihak keluarga jenazah sendirilah yang menyediakan tempat atau mengadakan acara dengan mengundang banyak orang, kenduri, serta membayar orang untuk membacakan Al-Qur’an. Acara-acara semacam itu jelas merupakan perbuatan haram dan bid’ah (karena Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan contoh adanya perayaan seperti itu, ed), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad yang diperolehnya dari Jabir bin Abdullah :

“Berkumpul pada keluaraga jenazah dan mengadakan kenduri setelah jenazah dikuburkan kami anggap sebagai ratapan atau meratapi (nihayah) jenazah.” (Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang tsiqat atau terpercaya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Berkumpulnya orang-orang pada acara kenduri di tempat keluarga yang kena musibah kematian, serta membacakan Al-Qur’an dan menghadiahkannya pada jenazah adalah merupakan perbuatan yang tidak pernah ada sejak jaman shahabat Nabi (salaf). Sekian banyak para ulama membenci perbuatan-perbuatan tersebut.”

Imam Ath-Thurthusi berkata: ”Telah sepakat para ulama bahwa berkumpul (atau mengadakan acara kenduri) pada keluarga yang tengah dilanda musibah kematian adalah perbuatan terlarang. Hal itu merupakan perbuatan bid’ah yang mungkar, karena tidak ada satu keterangan atau dalil pun yang menyebutkannya. Demikian pula peringatan hari-hari setelahnya, yakni hari kedua, ketiga, keempat, ketujuh, ketigapuluh, kesatu tahun dan seterusnya, semua itu adalah bid’ah yang merupakan bencana bagi kemurnian ajaran agama.

ZIARAH KUBUR

Khusus bagi laki-laki, sunnah hukumnya melakukan ziarah kubur dengan maksud untuk mengambil hikmah pelajaran (ibrah), mendo’akan ampunan bagi yang telah wafat, sebagaimana sabda Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam :

“Dahulu aku melarang kalian ziarah kubur, sekarang ziarahilah”. (Hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi). Di dalam riwayat tirmidzi terdapat tambahan lafal “karena hal itu akan mengingatkan akhirat”.

Tidak pula diperkenankan melakukan ziarah kubur, apabila ziarah tersebut dilakukan sebagai ziarah khusus atau melakukan kunjungan semata-mata hanya ingin berziarah ke tempat itu.

Ziarah kubur di sunnahkan dengan tiga syarat :

Pertama, yang berziarah adalah kaum lelaki, karena Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang melakukan ziarah kubur.

Kedua, tidak melakukannya sebagai perjalanan atau ziarah khusus, sebagaimana sabda Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam:

“Jangan eratkan pelana (untuk melakukan perjalanan jauh atau ziarah) kecuali untuk menuju tiga masjid.” (Hadits riwayat Bukhari dan ahli Sunan).

Ketiga, dilakukan dengan maksud mengambil ibrah, nasehat dan mendo’akan orang-orang yang telah wafat.

Namun bila tujuan ziarah itu untuk meminta berkah (tabarruk) pada kuburan, merusak kuburan, meminta kepada orang yang telah mati agar memberikan sesuatu atau melepaskannya dari mara bahaya, maka ziarah semacam ini adalah ziarah bidiyyah syirkiyyah (yakni perbuatan sesat yang dapat menyebabkan kemusyrikan, ed).

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah rahimahullah berkata :”Ziarah kubur ada dua, yakni ziarah yang syar’iyah dan ziarah yang bid’iyyah. Ziarah syar’iyah adalah ziarah yang bertujuan untuk mengucapkan salam (mendo’akan keselamatan) bagi jenazah dan sebagaimana halnya tujuan menshalatkan jenazah. Ziarah ini dilakukan dengan tidak memaksakan diri dan tidak bermaksud untuk mengagungkan kuburan. Adapun ziarah bid’iyyah adalah ziarah yang bertujuan untuk meminta sesuatu dari penghuni kubur agar memberi apa yang dibutuhkannya. Perbuatan meminta pada kuburan atau penghuni kubur merupakan syirik besar. Tujuan lain dari ziarah bid’iyyah ini adalah untuk berdo’a di kuburan, seakan-akan kuburan merupakan tempat yang makbul untuk berdo’a. Ziarah seperti ini adalah perbuatan bid’ah mungkarah (yakni perbuatan mungkar yang jelek dan dibenci, ed) yang dapat mengantar atau menjadi perantara (washilah) kepada kesyirikan. Dan ziarah demikian tidak pernah dianjurkan dan dicontohkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dianggap sebagai amal perbuatan baik oleh seorang pun dari para Salaful Ummah (yakni para shahabat Nabi yang langsung mendapat didikan agama dari beliau, ed) dan juga oleh para Imam. Wallahua’lam.

Washalallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi.

Kamis, 22 Februari 2007

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah

Abdullah Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma Berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam Telah mewajibkan zakat fithri dari bulan Ramadhan sebanyak satu sha' kurma, atau satu sha' gandum atas hamba, merdeka, laki-laki, perempuan, kecil maupun dewasa dari orang Islam. (HR. Al-Bukhari 3:473 No.1511 dan muslim : 2:677 No.984)

1. Definisi:
Zakat fithrah adalah zakat badan yang dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan berupa makanan pokok sebanyak 1 sha' (± 2,042 kg). Mulai diperintahkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam Pada bulan Sya'ban Tahun 2 H.

2. Hukum
Zakat fithrah hukumnya wajib sebagaimana disebutkan oleh hadits di atas dan banyak hadits lainnya. Kewajiban ini adalah bagi orang yang mampu membayarkan yaitu orang yang memiliki kelebihan makanan sekeluar-ga pada hari itu (hari idul Fithri)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithrah dari anak-anak, orang dewasa, merdeka dan hamba dari orang-orang yang menjadi tanggungan kalian." (HR. Ad-Daruquthni 2: 141, Al-Baihaqi : 4: 165) dari Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhu, Ibnu Syaibah dalam Al-Munshif 4: 37 dengan sanad shahih)

3. Pembayar
Semua orang yang disebut dalam hadits di atas berkewajiban membayar zakat fithrah: Anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, orang merdeka maupun budak, yaitu semua orang Islam yang mampu membayar. Seorang ayah mengeluarkan untuk dirinya dan anggota keluarga yang menjadi tanggungannya termasuk bayi yang baru lahir pada akhir bulan Ramadhan sebelum matahari terbenam. Sedangkan janin yang belum lahir tidak diwajibkan. Tidak diwajibkan bagi orang yang meninggal sebelum matahari terbenam (malam hari raya Idul Fithri). Bila orang tua hanya mampu membayarkan untuk dirinya sendiri tidak mampu membayarkan zakat anak-anaknya, maka cukup bagi orang tua itu membayar untuk dirinya saja.
Orang tua tidak dituntut (diwajibkan) membayarkan zakat untuk anaknya yang sudah baligh yang kaya atau berkelebihan yang bisa membayar zakat fithrahnya sendiri.

4. Benda yang dizakatkan
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, benda yang dizakatkan adalah kurma, gandum, atau kismis, beras dll. Yang menjadi bahan makanan pokok bagi daerah setempat.
Abu Said Al-Khudri berkata :
Dan makanan kami adalah gandum, kismis, Aqith (susu kering/keju) dan kurma. (Al-Bukhari 3:293, 1515 Muslim 985).

5. Ukuran
Satu sha' yang sesuai dengan sha' penduduk Madinah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Timbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran itu adalah takaran penduduk Madinah. (HR. Abu Dawud No. 2340, An Nasa'I : 7:281 dan Al-Baihaqi (6:31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih).

Yaitu sebanding dengan dua kilo empat puluh dua gram (2,042 kg), karena satu sha' = 480 mitsqal, satu mitsqal : 4,25 gram, maka satu sha' sama dengan 480 x 4,25 gram = 2.040 gram atau 2,04 kg.

6. Waktu
Waktu menyampaikan yang paling utama adalah setelah terbit fajar sebelum shalat Idul Fithri berlangsung, namun sebelum Ramadhan berakhir satu atau dua hari juga diperbolehkan.
Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa:
Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruh zakat fithri agar ditunaikan sebelum manusia keluar ke shalat Ied. (HR. Al-Bukhari 3:463 No. 1503).

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kotor dan sebagai pemberian makan bagi kaum miskin, maka siapa yang menunaikan sebelum shalat (Ied) maka itulah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat (Ied) maka itu termasuk sedekah biasa. (HR. Abu Daud 2:111 No. 1609, Ibnu Majah No. 1827, Al-Albani menghasankan dalam Al-Irwa' No. 843).

Jika ada halangan/udzur sehingga tidak bisa menunaikan kecuali setelah shalat, maka hendaklah ditunaikan.
Dapat juga dibagikan sehari atau dua hari sebelum Ied sebagaimana dilaksanakan oleh Ibnu Umar (Riwayat Ibnu Khuzaimah 4:83 dari Abdul Warits dari Ayub).

Sesungguhnya Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhu Menyerahkan zakat fithrah kepada orang-orang yang menerimanya (yang mengelolanya). Mereka adalah petugas yang diangkat oleh imam untuk mengumpulkan zakat, demikian itu sebelum idul fithri,satu hari atau dua hari. (HR. Ibnu Khuzaimah 4:83)
Saya bertanya: "Kapan Ibnu Umar Menyerahkan zakat fithrah?" Ia menjawab: "Jika petugas sudah siap!" Saya bertanya: "Kapan petugas Siap?" Ia menjawab: "Sebelum Iedul Fitri sehari atau dua hari". (Al-Bukhari/11: 728 No. 6713).

7. Orang yang berhak menerima
Zakat Fithrah dibagikan kepada fakir miskin, mereka itulah yang diutamakan sebagaimana hadits tersebut diatas.
Sebagian ahli fiqih berpendapat zakat fithrah juga untuk: fakir, miskin, amil/petugas, muallaf, budak ingin merdeka, penanggung hutang, pejuang agama Allah, musafir yang butuh bekal. Karena zakat fithrah termasuk zakat yang pembagiannya adalah delapan golongan yang disebut dalam surat At-Taubah ayat 60 (Al-Mughni 4:314).

Namun yang diutamakan adalah menolong faqir miskin yang taat beribadah. Sebab hadits Rasulullah diatas menunjuk fakir miskin. Sedang shadaqah dalam surat At-Taubah : 60 adalah untuk zakat/ shadaqah yang umum/ (maal). (Majmuatul Fatawa: 13: 47)

8. Tempat Mengeluarkan
Zakat fithrah harus dikeluarkan atau dibagikan di daerah tempat sendiri, kecuali bila fuqara dan masakin tempat tinggal itu telah terpenuhi sedang di daerah lain banyak fakir miskin atau yang lebih membutuhkan maka boleh dipindah ke daerah tersebut.

Bila sedang dalam bepergian maka dibagikan kepada fakir miskin yang ditemukan pada daerah yang ditemui (ditempati) pada saat itu. Membagikan kepada fakir miskin yang dekat hubungan famili : Saudara, paman dll adalah lebih utama, namun bukan kepada orang tua, kakek, anak dan cucu.

Membagi satu bagian zakat kepada beberapa fakir miskin diperbolehkan, sebagaimana mengumpulkan beberapa bagian zakat (beberapa sha') untuk satu fakir miskin saja. Bila dibagi kepada beberapa orang namun masing-masing hanya mendapat bagian yang sedikit yang tidak mencukupi bagi keluarganya, maka harus dihindari. Namun bila pembagian yang demikian terpaksa dilakukan demi pemerataan maka haruslah ditempuh dan diatur dengan sebijaksana dan sebaik mungkin, sebab syariat yang mulia ini suci dari praktek dan pola yang tidak disetujui oleh akal sehat dan tuntunan yang bijak dari para pendahulu umatnya.
(lihat Majmuatul Fatawa : 13:47)
"Cukupilah mereka di hari ini dari meminta-minta."
(HR. Ad-Daruquthni)

9. Hikmah Zakat

a. Bagi Pribadi Muslim
- Membersihkan diri orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang kotor dan sia-sia, melatih gemar berinfaq, berpeduli, bersyukur nikmat, qonaah, toleransi.
- Mengobati penyakit hati, diri pribadi dan sosial seperti: Bakhil, egois, rakus, tamak, iri, cinta dunia, bahkan permusuhan, penjarahan, kerusuhan, propokasi dll.

b. Bagi Masyarakat.
- Memberi jaminan kecukupan bagi fakir miskin minimal di hari itu dari kesusahan dan meminta-minta, menambah kemakmuran sehingga teratasi anak-anak drop-out, kebodohan dan orang-orang sakit.
- Mewujudkan keamanan masyarakat yang rukun, harmonis, saling membela, menolong dan mencukupi dalam kebajikan, sehingga terwujud cinta dan iman yang hakiki, maka sukseslah hidup/pembangunan, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf 17: 96.

(Waznin Mahfudh).