Jumat, 25 Mei 2007

Bersuci Dari Air Kencing Bayi

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta


Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu.

Jawaban:
Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi lelaki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu adalah perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik dia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum. Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam kitab sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan: "Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa sallam kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendudukkan bayi itu didalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta diambilkan air lalu memercikkan pakaian itu dengan air tanpa mencucinya," Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, Artinya :

“Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki cukup dipercik dengan air."

Dalam riwayat lain menurut Abu Daud. Artinya :

“ Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum mengkonsumsi makanan."


Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 2-3 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.

Selasa, 22 Mei 2007

Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa

(Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid


Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil

Islam datang dengan membawa peraturan yang semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Diantaranya soal menghilangkan najis, Islam mensyari'atkan agar umatnya melakukan istinja' (cebok dengan air) dan istijmar (membersihkan kotoran dengan batu), lalu menerangkan cara melakukannya sehingga tercapai kebersihan yang dimaksud.

Sebagian orang menganggap enteng masalah menghilangkan najis. Akibatnya badan dan bajunya masih kotor. Dengan begitu, shalatnya menjadi tidak sah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut salah satu sebab dari azab kubur.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Suatu kali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa di alam kuburnya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda" :

"Artinya : Keduanya diazab, tetapi tidak karena masalah besar (dalam anggapan keduanya) lalu bersabda - benar (dalam riwayat lain : Sesungguhnya ia masalah besar) salah satunya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan yang satu lagi suka mengadu domba". (Hadits Riwayat Bukhari, lihat Fathul Baari :1/317)

Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan :

"Kebanyakan azab kubur disebabkan oleh buang air kecil". (Hadits Riwayat Ahmad, Shahihul Jami' No. 1213)

Termasuk tidak cebok setelah buang air kecil adalah orang yang menyudahi hajatnya dengan tergesa-gesa sebelum kencingnya habis, atau sengaja kencing dengan posisi tertentu atau di suatu tempat yang menjadikan percikan air kencing itu mengenainya, atau sengaja meninggalkan istinja' dan istijmar tidak teliti dalam melakukannya.

Saat ini, banyak umat Islam yang menyerupai orang-orang kafir dalam masalah kencing. Beberapa kamar kecil hanya dilengkapi dengan bejana air kencing permanen yang menempel di tembok dalam ruangan terbuka. Setiap yang kencing, dengan tanpa malu berdiri dengan disaksikan orang yang lalu lalang keluar kamar mandi. Selesai kencing ia mengangkat pakaiannya dan mengenakannya dalam keadaan najis.

Orang tersebut telah melakukan dua perkara yang diharamkan, pertama ia tidak menjaga auratnya dari penglihatan manusia dan kedua, ia tidak cebok dan membersihkan diri dari kencingnya.

Senin, 14 Mei 2007

Menahan Marah

Dalam literatur Islam, marah disebut al-ghadhab, yang berarti sikap tidak rela terhadap sesuatu dan dari sesuatu. Biasanya marah merupakan bentuk emosional yang menimbulkan penyerangan dan penyiksaan guna mengobati apa yang terdapat dalam hati. Kemarahan yang hebat dan memuncak disebut al-ghaizh.

Marah merupakan suatu hal yang wajar dan manusiawi. Oleh karena itu, ada marah yang terpuji dan dibolehkan agama. Marah dibolehkan apabila bertujuan untuk mempertahankan diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum, dan menolong orang yang dizalimi. Namun, apabila marah ditujukan untuk kepuasan nafsu dan alasan yang tidak jelas, maka marah seperti ini dicela dan dilarang agama karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kemampuan mengendalikan diri ketika marah dan dari marah yang tercela sangat dipujikan Nabi SAW. Kata beliau, ''Orang kuat bukanlah yang mampu mengalahkan musuh, tapi yang mampu mengendalikan diri ketika marah.'' (HR Bukhari). Allah SWT pun memberikan pujian dan memberi gelar ''muhsinin'' kepada orang yang mampu menahan marah.

Firman-Nya, ''Orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (QS 3: 134).

Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah memberikan pesan beharga kepada seorang sahabat yang datang meminta nasihat padanya. Pada saat itu, Rasulullah bersabda, ''Janganlah kamu marah,'' lalu Nabi SAW mengulang-ulangnya beberapa kali, ''Janganlah kamu marah.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, marah perlu dikendalikan dengan baik sesuai dengan tuntutan Islam. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam menahan dan mengendalikan marah. Pertama, perlu disadari bahwa marah berasal dari setan, karenanya ketika marah segera mengingat Allah dan berlindung kepada-Nya dengan mengucapkan ta'awuz.

Kedua, apabila marah belum reda, maka perlu mengubah situasi dan kondisi yang sedang dialami dengan suasana lain. Bila orang yang marah sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk, bila marah belum juga berkurang hendaklah berbaring. Perubahan suasana ini akan membuat rileks dan diharapkan membuat kemarahan menjadi reda dan berkurang.

Ketiga, apabila langkah di atas belum berhasil mengatasi marah, segeralah berwudhu. Langkah ini penting dilakukan mengingat marah berasal dari dorongan setan, sementara setan diciptakan dari api, maka untuk meredakannya dengan berwudhu. Inilah tuntunan yang diajarkan Nabi SAW untuk mengendalikan marah yang sudah sampai memuncak.

Kemampuan menahan dan mengendalikan marah harus ditampilkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Bahkan, dalam kehidupan bernegara, kemampuan menahan marah perlu dimiliki setiap anggota masyarakat agar tidak mudah terpancing oleh dorongan-dorongan yang bersifat destruktif yang kadangkala sengaja diciptakan pihak tertentu untuk menimbulkan kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(Firdaus)

Sumber: republika, 04 Februari 2004