Senin, 14 Mei 2007

Menahan Marah

Dalam literatur Islam, marah disebut al-ghadhab, yang berarti sikap tidak rela terhadap sesuatu dan dari sesuatu. Biasanya marah merupakan bentuk emosional yang menimbulkan penyerangan dan penyiksaan guna mengobati apa yang terdapat dalam hati. Kemarahan yang hebat dan memuncak disebut al-ghaizh.

Marah merupakan suatu hal yang wajar dan manusiawi. Oleh karena itu, ada marah yang terpuji dan dibolehkan agama. Marah dibolehkan apabila bertujuan untuk mempertahankan diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum, dan menolong orang yang dizalimi. Namun, apabila marah ditujukan untuk kepuasan nafsu dan alasan yang tidak jelas, maka marah seperti ini dicela dan dilarang agama karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kemampuan mengendalikan diri ketika marah dan dari marah yang tercela sangat dipujikan Nabi SAW. Kata beliau, ''Orang kuat bukanlah yang mampu mengalahkan musuh, tapi yang mampu mengendalikan diri ketika marah.'' (HR Bukhari). Allah SWT pun memberikan pujian dan memberi gelar ''muhsinin'' kepada orang yang mampu menahan marah.

Firman-Nya, ''Orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (QS 3: 134).

Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah memberikan pesan beharga kepada seorang sahabat yang datang meminta nasihat padanya. Pada saat itu, Rasulullah bersabda, ''Janganlah kamu marah,'' lalu Nabi SAW mengulang-ulangnya beberapa kali, ''Janganlah kamu marah.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, marah perlu dikendalikan dengan baik sesuai dengan tuntutan Islam. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam menahan dan mengendalikan marah. Pertama, perlu disadari bahwa marah berasal dari setan, karenanya ketika marah segera mengingat Allah dan berlindung kepada-Nya dengan mengucapkan ta'awuz.

Kedua, apabila marah belum reda, maka perlu mengubah situasi dan kondisi yang sedang dialami dengan suasana lain. Bila orang yang marah sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk, bila marah belum juga berkurang hendaklah berbaring. Perubahan suasana ini akan membuat rileks dan diharapkan membuat kemarahan menjadi reda dan berkurang.

Ketiga, apabila langkah di atas belum berhasil mengatasi marah, segeralah berwudhu. Langkah ini penting dilakukan mengingat marah berasal dari dorongan setan, sementara setan diciptakan dari api, maka untuk meredakannya dengan berwudhu. Inilah tuntunan yang diajarkan Nabi SAW untuk mengendalikan marah yang sudah sampai memuncak.

Kemampuan menahan dan mengendalikan marah harus ditampilkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Bahkan, dalam kehidupan bernegara, kemampuan menahan marah perlu dimiliki setiap anggota masyarakat agar tidak mudah terpancing oleh dorongan-dorongan yang bersifat destruktif yang kadangkala sengaja diciptakan pihak tertentu untuk menimbulkan kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(Firdaus)

Sumber: republika, 04 Februari 2004

0 komentar: