Minggu, 29 Juli 2007

ABU MUSA AL-ASY'ARI

YANG PENTING KEIKHLASAN..., KEMUDIAN TERJADILAH APA YANG AKAN TERJADI... !

Tatkala Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya:

"Sesungguhnya Amirul Mu'minin Umar telah mengirimku kepad kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kafian, serta membersihkan jalan hidup kalian... !"

Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya... ! Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya ... !

Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata: -- 'Tak seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang lebih berjasa kepada penduduknya selain dia ... !"

Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy'ari. Ia meninggalkan negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah·, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.

Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar....

Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja'far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.

Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.

Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy'ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: -- "Orang-orang Asy'ari ini bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata ....
Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka... !"

Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu'minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa zaman.

Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang... ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal ... ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: "Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit ....".

Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan ... ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: -- "Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi... !"

Dalam arena perjuangan al-Sy'ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam berkata mengenai dirinya: -- "Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa " Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut: "Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain... !"

Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah.

Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy'ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan.

Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang… !

Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan .... Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.... !

Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya ... ! Pada saat itu Amirul Mu'minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh 'Ammar bin Yasir, Barra' bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja'.

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat.

Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya ....

Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.

Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.

Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu'minin.

Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati…Ia membaca al-Quran dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda: -

'Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!"
Dan setiap Umar radhiallahu anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: -
"Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa... !"

Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali Sika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi...Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya.

Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.

Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu'awiyah.

Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya Yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi Orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ....

Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita Simpulkan sebagai berikut: -- memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan... !

Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya nntuk sementara waktu, begitu pula Mu'awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.

Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya ... ! Benar bahwa Ali radhiallahu anhu telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari'at ... ! Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru ,karena pengkhianatan Mu'awiyah sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.

Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah!

Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian ... !

Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy'ari.

Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.

Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali.
Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat.

Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan ... !

Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah .... Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin 'Ash sebagai wakil dari pihak Mu'awiyah. Dan sesungguhnya 'Amr bin 'Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu'awiyah.

Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy'ari dan 'Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.

Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini,'Amr bin 'Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar ....

Demikianlah dengan kelicinannya, 'Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu'awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin 'Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.

Kecerdikan 'Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya'Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada 'Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.

Dan akan kita lihat nanti bagaimana 'Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu'awiyah

Tetapi sebelum itu marilah kita dengar soal jawab yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan 'Amr bin 'Ash di awal pertemuan mereka, yang kita nukil dari buku "Al-Akhbaruth Thiwal" buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: -- Abu Musa :

+ Hai 'Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah ...? Ujar 'Amr: -
-- Apakah itu ?

+ Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
-- Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu'awiyah...?

+ Tak ada tempat Mu'awiyah di sini ..., dan tak ada haknya
--Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya...?

+ Benar!
--Maka Mu'awiyah adalah wail dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wail darah Utsman, sedang Allah Ta'ala berfirman: "Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, make Kami berikan kekuasaan kepada walinya I" Di samping itu ia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi shallallahu alaihi wasalam juga salah seorang dari shahabatnya.

+ Takutilah Allah hai 'Amr! Mengenai kemuliaan Mu'awiyah yang kamu katakan itu, seandainya khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu'awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib ...? Adapun katamu bahwa Mu'awiyah wail Utsman, maka lebih utamalah daripadanya putera Utsman sendiri 'Amr bin Utsman... ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyahi itu...!
--Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?

+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putra dari orang baik ,yaitu Abdullah bin Umar ... !
-- Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan ... !

+ Keterlaluan engkau wahai 'Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah ...!
-- Jadi bagaimana pendapat anda ... ?

+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka -- Ali dan Mu'awiyah -- dan kita serahkan kepada permusyawaratan Kaum NIuslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
-- Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia .. !

Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaranyang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy'ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan 'Amr bin 'Ash yang terkenal licin dan lihai itu Maka tatkala 'Amr hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu'awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wall dari Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: -- Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu'awiyah….!

Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman radhiallahu anhu . sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu'awiyah …!

Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr bin 'Ash seorang diri .... Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan 'Amr telah menyetujui dan mengakui tarikatnya dengan pendapat ini ....

Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, 'Amr masih akan bsrsiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu'awiyah ... ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembalikepada mereka menyampaikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan 'Amr akan bersilat lidah, katanya: -

"Demi Allah, saya khawatir 'Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya…. !"

Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga 'Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa 'Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.

Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu mukalah ..., Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan 'Amr bin 'Ash mewakili pihak Mu'awiyah.

Abu Musa mempersilakan 'Amr untuk bicara, ia menolak, katanya: -
"Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda... ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua '"

Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya: -

"Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tail kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu'awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah.... Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatan mereka .... Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian ... !'

Sekarang tiba giliran 'Amr untuk memaklumkan penurunan Mu'awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ail, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.'Amr menaiki mimbar, lain katanya: "Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggaIkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku Mu'awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu'minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini ... !"

Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada 'Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri... , diayunnya langkah menuju Mekah . . , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.

Abu Musa radhiallahu anhu . adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya . · · ·

Sewaktu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi.

Di masa Umar, Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah.

Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:

"Ikutilah al-Quran ... dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran...!"

Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya: -

"Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti ... !"

Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut .... Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman.

Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ....

Kalimat-kalimat itu ialah: -

"Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan':

sumber : www.al-sofwa.or.id

Sabtu, 28 Juli 2007

KHUBAIB BIN 'ADI

"PAHLAWAN YANG SYAHID DI KAYU SALIB"



Dan kini ....
Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini, wahai para shahabat .... Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat .... Datanglah ke sini, secara mudah atau bersusah payah .... Kemarilah bergegas dengan menundukkan hati ....Menghadaplah untuk mendapatkan pelajaran dalam berkurban yang tak ada tandingannya .... Mungkin anda sekalian akan berkata: "Apakah semua yang telah anda ceritakan kepada kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengurbanan yang jarang tandingannya?"

Benar ..., semuanya pelajaran, dan kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya .... Tapi kini kalian berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni berqurban

.... Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri kuliahnya, anda akan kehilangan banyak kebaikan, kebaikan yang tidak terkira .... Mari bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap ummat dan tempat. Mari bersama kami, wahai pengagum ketinggian dari segala masa dan zaman .... Kamu juga, wahai orang-orang yang telah sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka buruk terhadap Agama dan iman....

Marilah datang dengan kebanggaan palsumu itu .... Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah membentuk dan menempa tokoh-tokoh terkemuka.... Marilah perhatikan oleh kalian! Kemuliaan yang tiada bertara... kegagahan sikap, ketetapan pendirian, keteguhan hati ....kepantang munduran ... pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya....Ringkasnya, kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah dikalungkan oleh keimanan yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus ikhlas .... Tampakkah oleh anda sekalian tubuh yang disalib itu ... ? Nab, inilah dia judul pelajaran kita hari ini, wahai semua anak manusia! Benar ... tubuh yang disalib di hadapan kalian itulah sekarang yang jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan sekaligus guru. Namanya Khubaib bin 'Adi. Hafalkan benar dengan balk nama yang mulia ini!

Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah namanya, karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama, dari setiap aliran dan dari setiap bangsa di setiap zaman.

Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk shahabat Anshar. Ia sering bolak-balik kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul 'alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia. Ia adalah sebagai yang dilukiskan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Islam sebagai berikut:"

"Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat ditawar-tawar".

Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin 'Adi ini. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di peuang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya,· ialah seorang pemimpin Quraisy yang bernama al-Harits bin'Amir bin Naufal.

Setelah pertempuran selesai dan sisa-sisa pasukan Quraisy yang kalah kembali ke Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka. Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Islam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin )Adi ... !

Orang-orang Islam telah kembali ke Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru .... Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat beribadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang 'abid dan kerinduan seorang 'asyik ....Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya ...berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang....

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bermaksud hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraisy, hingga dapat mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru .... Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para shahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi,'Ashim bin Tsabit.

Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Islam dan mengikuti jejak mereka dari belakang ....

Pasukan bani Haiyan hampir saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir .... Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang

tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka: "Biji-biji itu berasal dari Yatsrib – nama lain dari Madinah -- Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada ... !

Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu ....'Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi .... Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat ....

Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Kesepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka 'Ashim bin Tsabit al-Anshari r.a. Rupanya ia menyatakan: "Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemis perlindungan orang mu'syrik ... ! Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu.. .!"

Dan segeralah para pernanah yang seratus orang itu menghujani mereka dengan anak panah .... Pemimpln mereka 'Ashim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang shahabatnya .... Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan 'Ashim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya....

Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang di antara orang-orang Mu'min yang paling tebal keimanannya, paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati ....

Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi Zaid, berusaha melepaskan tail ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak.... Keluarga Harits bin 'Amir yang tewas di perang Badar, dapat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak ... untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Mekah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya....

Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya, menyerahkan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada AUah Rabbul'alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan Ilwa yang teguh, kebeuanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpahkan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah.... Kekuasaan Allah menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membarut dadanya...hingga terasa sejuk dingin ....

Pada suatu kali salah seornga puteri Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya:

"Demi Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya ... sedang ia terikat teguh pada besi ...padahal di Makah tak ada sebiji anggur pun.... Saya kira itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada Khubaib.

Benarlah .... Itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah diberikanNya seperti itu kepada Maryam anak 'Imran, yaitu di saat:

"Setiap kali Zakaria masuk Ke dalam mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam .... Katanya: Dari mana datangnya makanan ini hai Maryam. Jawabnya:

la datang dari Allah, sesungguhnya Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak terhingga. ...!" (Q.S. 3 Ali Imran: 37)

Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah r.a. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merangkulnya dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya ....Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan janji pembebasan seandairiya ia mau mengingkari Muhammad dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya .... Tetapi usaha mereka tak ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya .... ! Benar, keimanan Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun tentang panasnya dan cahayanya . ... ! Ia akan bercahaya bagi orang-orang yang mencari cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi orang yang menghendakinya gelap. Adapun orang yang menghampirinya dan menentangnya maka ia akan terbakar dan hangus.

Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya ... mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan'im, dan di sanalah ia menemui ajalnya ....

Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta idzin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka mengidzinkannya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar-menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya .... Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu', tenang, dan hati yang pasrah .... Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manisnya iman ... maka ia mencintakan kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat lagi.... Tetapi kemudian ia berpaling ke arab algojonya, lain katanya kepada mereka: "Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya akan kulanjutkan lagi shalatku...!"

Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arab langit lain mohonnya: "Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka ... musnahkan mereka sampai binasa ... !" Kemudian diamat-amatinya wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lain berpantun:

Mati bagiku tak menjadi masalah ....Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah Dengan jalan apapun kematian itu terjadi ....Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi Ku berserah menyerah kepada-Nya.... Sesuai dengan taqdir dan kehendak-Nya

Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah ....pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.
Dan mungkin inilah peristiwa pertama dalam sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki, kemudian membunuhnya di atas salib ... !

Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar untuk membuat sebuah salib besar, lain menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya .... Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu roma. Para pemanah bergantian melepaskan panah-panah mereka.

Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena tersalib .... Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah yang mena'ajubkan itu yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di kala itu saiah seorang pemimpin Quraisy mendekatinya sambil berkata: "Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal'afiat bersama keluargamu?" Tenaga Khubaib pulih kembali, dengan suara laksana angin kencang ia berseru kepada pars pembunuhnya: "Demi Allah tak sudi aku bersama anak isteriku selamat meni'mati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri...!"

Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak membunuhnya .... Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang ... yang menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Islam mempertepukkan bedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu:

"Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya shahabatahahabat Muhammad terhadap Muhammad ...

Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan .... Dekat ke tempat kejadian ini telah berterbangan burung-burung bangkai dan buring-burung buas lainnya, sealah-olah sedang menunggu selesainya para pembantai pulang meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan mengerubungi tubuh yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa ....Tetapi kemudian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lain berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang berbisik dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan buah fikiran. Dan tiba-tiba mereka beterbangan membelah angkasa, dan pergi menjauh ....jauh...jauh sekali ...-. Seolah-olah burung ini dengan perasaan dan nalurinya tercium akan jasad seorang yang shaleh yang berdekat diri kepada Allah dan menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan dan main akan menghampiri dan menyakitinya ... ! Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang berbondong-bondong melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya ... .

Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuhan. Dan tinggaliah tubuh yang syahid itu eiijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata tombak dan pedang.

Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arab langit sambil berdu'a kepada Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya:

"Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami ... !"

Do'anya itu diperkenankan oleh Allah .... Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, memberitahukan bahwa para shahabatnya dalam bahaya dan terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang....

Dengan segera beliau saw. memerintahkan shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bi" Awwam ..., yang segera menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah mereka ke tempat yang dimaksud. Maka mereka turunkanlah mayat shahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah....

Tak ada yang mengetahui sampai sekarang di mana sesungguhnya makam Khubaib.? Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya, sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib ... !

sumber : www.al-sofwa.or.id

Selasa, 24 Juli 2007

SALAMAH BIN AL-AKWA'

PAHLAWAN PASUKAN JALAN KAKI

Puteranya Iyas ingin menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat singkat, katanya:
"Bapakku tak pernah berdusta... !" Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi di antara orang-orang shaleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang dengan memiliki sifat-sifat ini! Dan Salamah bin al-Akwa' telah memilikinya, suatu hal yang mmang wajar baginya ... !

Salamah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkemuka, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Dan ketika ia menyerahkan dirinya menganut Agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati, hingga ditempalah o)eh Agama itu sesuai dengan coraknya yang agung.
Salamah bin al-Akwa' termasuk pula tokoh-tokoh Bai'atur Ridwan .

Ketika pada tahun 6 H. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersama para shahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka'bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang Quraisy, maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang…..

Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima bai'at sehidup semati dari shahabatnya seorang demi seorang.
Berceritalah Salamah:

"Aku mengangkat bai'at kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lain aku mundur dari tempat itu. Tatkala mereka tidak berapa banyak lagi, Rasulullah bertanya: "Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut bai'at ... ?''
"Aku telah bai'at, wahai Rasulullah!" ujarku.
"Ulanglah kembali!'" titah Nabi. Maka kuucapkanlah bai'at itu kembali".
Dan Salaman teiah memenuhi isi bai'at itu sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak ia mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadar RasululIah", maksud bai'at itu telah dilaksanakan!

Kata Salamah: "Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali".

Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki,dan dalam memanah serta melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijaiankannya serupa dengan perang gerilya, yang buta jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur kebelakang. Tetapi bila mereka kembali atau berhenti untuk beristirahat, maka diserangnya mereka tanpa ampun….!

Dengan siasat seperti ini ia mampu seorang diri menghalau tentara yang menyerang luar kota Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan aI-Fizari dalam suatu peperangan yang disebut perang Dzi Qarad. Ia pergi membuntuti mereka seorang diri, lain memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi membawa balabantuan yang terdiri dari shahabat-shahabatnya.

Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para shahabatnya: -- '"rokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik ialah Salamah bin al-Akwa'... !"

Tidak pernah Salamah berhati kesal dan merasa kecewa kecuali ketika tewas saudaranya yang bernama 'Amir bin al-Akwa' di perang Khaibar ....
Ketika itu 'Amir mengucapkan pantun dengan suara keras di hadapan tentara Islam, katanya: -

"Kalau tidak karena-Mu tidaklah kami 'kan dapat hidayat Tidak akan shalat dan tidak pula akan berzakat
Maka turunkanlah ketetapan ke dalam hati kami
Dan dalam berperang nanti, teguhkanlah kaki-kaki kami".

Dalam peperangan itu 'Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Tetapi rupanya pedang yang digenggam-nya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghujam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa orang Islam berkata: -- "Kasihan 'Arnir ... ! Ia terhalang mendapatkan mati syahid!"
Maka pada waktu itu, -- yah, hanya sekali itulah, tidak lebih -- Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagai sangkaan shahabat-shahabatnya bahwa saudaranya 'Amir itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.

Tetapi Rasul yang pengasih itu, segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang kepadanya bertanya: -- "Wahai Rasulullah, betulkah pahala 'Amir itu gugur ... ?"

Maka jawab Rasulullah saw.: -
"Ia gugur bagai pejuang
Bahkan mendapat dua macam pahala
Dan sekarang ia sedang berenang
Di sungai-sungai surga ... !"

Kedermawanan Salamah telah cukup terkenal, tetapi ada hal yang luar biasa. Hingga ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya apabila permintaan itu atas nama Allah ...!

Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang itu. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan mengatakan kepadanya: -- "Kuminta pada anda atas nama Allah ... !" Mengenai ini Salamah pernah berkata: "Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapa lagi kita akan memberi ... ?"

Sewaktu Utsman radhiallaahu anhu dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyulut Kaum Muslimin, ia seorang yang telah menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak sudi berperang menghadapi saudara seagamanya

Benar ... ! Seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya ia menggunakan keahliannya itu dalam memerangi atau membunuh orang-orang Mu'min. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah ...,yaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.

Maka di Rabdzah inilah Salamah melanjutkan sisa hidupnya, pada suatu haui di tahun 74 H., hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi kerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah satu dua hari dan pada hari ketiga ia pun wafat .... Demikianlah, rupanya tanahnya yang tercinta dan lembut empuk itu memanggil puteranya ini untuk merangkulnya ke dalam pelukannya dan memberikan ruangan baginya di lingkungan shahabat-shahabatnya yang beroleh berkah bersama para syuhada yang shaleh ....


sumber : www.al-sofwa.or.id

Senin, 23 Juli 2007

ABDULLAH BIN ABBAS

"Kyai Umat Ini"


Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih becil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasuluilah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ....

Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari "habar" atau kyahi atau lengkapnya "kyahi ummat", suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahuannya yang luas.

Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu'akannya: -
"Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil".

Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan dimana Rasulullah mengulang-ulang du'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu ..., dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan.

Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya....

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya.

Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatn ilmu atau menghafaikan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya nntuk meneliti apa yang didengarnya.

Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

Pernah ia menceritakan pengalamannya: -- "Pernah aku bertanya kepada tigapuluh orang shahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam mengenai satu masalah". Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut: -

"Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat, kakatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: "Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?"

Jawab pemuda Anshar itu:
"Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kan lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah ... ?" Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.

Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur siang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: -- "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?" "Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya ... !"

Demikianlah pemuda kita yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya "pemuda tua" ... !

Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:
"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?"

Jawabnya: -"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !"
Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyahi ummat ini".

Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :-
Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!"

Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin 'Utbah berkata:-
"Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam daripada Ibnu Abbas... !

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya ... ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya ....

Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ....

Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir -Quran, ilmu hisab dan seal pembagian pusaka daripadanya ... ! Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya... !"

Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: -- (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali)

"Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara ....
Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
Menjauhi sifat mengambil muka.
Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
Menjauhi setiap perbuatan dosa.

Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu.

Maka ia pun menjadi tepatan bagi orang-orang pang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.

Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.

Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman ....Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara ... !

Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu ... ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu slat yang paring ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran ... !

Dan memang, telah lama ia ditabuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini: -

Tanya Ibnu Abbas: -- "Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali ... ?"

Ujar mereka: -"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: -

Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: '"Tak ada hukum kecuali bagi Allah ... !')

Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil barta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya ... !)

Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu'min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir... !"3)

Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya: -- "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya ... ?

Bukankah Allah telah berfirman:
"Hai orang-orang beriman! Janganlah halian membunuh binatang buruan, sewaktu halian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewran yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hahimnya ... !" (Q.S. 5 al-hlaidah: 95)

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"

Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian "kyai ummat ini" melanjutkan bantahannya: -

"Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan ... ?"

Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena main, lain menutupi muka mereka dengan tangan ...,sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: -

"Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penuiis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu ... ! Maka tulislah:

Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"
Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya…"

Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya:
"Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"

Demikianlah, dengan cara yang menarik( dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali... !

Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, Ia bagaikan Imam dengan,panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah ruahkan ilmunya kepada mereka....

Orang-orang yang sesama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut: -- "Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas ... !"

Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga.
Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan...!

Katanya mengenai dirinya: -
"Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu ... ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendu'akannya ..., padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya ... ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut...!"

Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat ..., sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, balk di kala ia shalat maupun sewaktu membaca alquran ....Dan ketika ia membaca ayat-ayat alquran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi ... !

Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat ... ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukban tingginya kecerdasan dan banyaknya akal serta siasatnya .... Ia lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunahan fikiran daripada paksaan...!

Tatkala Husein radhiallahu anhu bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.

Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, beriunak lembut dan melenyapkan kesalah-pahaman

Benar ia ikut tejun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu'awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat... !

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya - • • • Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung • - • • Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu'min diiringkan menuju surganya.

Dan tatkala tubuh kasamya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:

"Wahai jiwa yang aman tenteram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaKu.

Sumber: www.alsofwah.or.id
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihattokoh&id=31

SALMAN AL-FARISI RA

Pencari Kebenaran


Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam .

Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.

Salman radhiyallahu 'anhu sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam -- yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:

Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.

Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu!' Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu 'anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu 'anhu tersebut.

Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit ...

Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.

Salman radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti....

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:

Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:

Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:

Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Salman radhiyallahu 'anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah ....Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya .. .! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan iman kepadanya ...!

Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!

"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.

Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: "Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!" Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. "Dari Syria",ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: "Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita". Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ....

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai. Lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar, Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat ....dan mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari padanya.

Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: "Sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi. "Anakku!", ujamya: "tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul".

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: "Anakku.' Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya':

Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: "Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?" "Baiklah", ujar mereka.

Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.

Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya:

"Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: "Apa kata anda?" Ada berita apakah?" Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya: "Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!" Maka aku pun kembalilah bekerja ...

Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: "Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini". Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.

"Makanlah dengan nama Allah". sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. "Nah, demi Allah!" kataku dalam hati, inilah satu dari tanda-tandanya ... bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah':

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya: "Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah'', lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah ! ' Dan beliaupun turut makan bersama mereka. "Demi Allah': kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah ':

Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.

Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap henabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku:'Mintalah pada majihanmu agar ia bersedia membebashanmu dengan menerima uang tebusan."

Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya.

Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ....

Corak manusia ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman berikut harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah yang belum dikenal -- dengan segala halangan dan beban penderitaan -- pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun ...?

Sementara pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah beranjak dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu pun pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian ...Dan akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan kemakmuran dan keadilan.. .!

Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman radhiyallahu 'anhu adalah keislamannya orang-orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.

Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu 'anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.

Pada suatu hari Salman radhiyallahu 'anhu bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: "Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?" Maka jawab Salman radhiyallahu 'anhu: "Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!"

Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu 'anhu telah dipenuhi dengan ilmu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu 'anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: "Salman radhiyallahu 'anhu dari golongan kami". Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: "Tidak, ia dari golongan kami!" Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.

Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu 'anhu mendapat kehormatan seperti itu ...!

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menggelari Salman radhiyallahu 'anhu dengan "Luqmanul Hakim". Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: "Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering".

Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu 'anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: "Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu 'anhu!" Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya ...

Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu 'anhu hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu; kemudian di masa Amirul Mu'minin Umar radhiyallahu 'anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.

Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.

Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu 'anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu ...?

Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.

Nah, itulah dia Salman radhiyallahu 'anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: "Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.

Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!"

Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar radhiyallahu 'anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.

Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.. .? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?

Katanya: "Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang manusia --, maka lakukanlah!" Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?

Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: "Tunjangan Salman radhiyallahu 'anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba'ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya".

Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih.

Sa'ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu 'anhu menangis. "Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah",') tanya Sa'ad, "padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada anda?" "Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:

Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya"

Kata Sa'ad: "Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!" Maka ujamya: "Wahai Sa'ad!

Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian".

Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu 'anhu mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.

Salman radhiyallahu 'anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros .... Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?

Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu 'anhu menurut dengan patuh. "Tolong bawakan barangku ini!", kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu 'anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu 'anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: "Juga kepada amir, kami ucapkan salam" "Juga kepada amir?" Amir mana yang mereka maksudkan?" tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu 'anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: "Berikanlah kepada kami wahai amir!"

Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu 'anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!

Suatu ketika Salman radhiyallahu 'anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: "Karena manis wahtu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!"

Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu 'anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: "Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus''

Apa sebenarnya yang kita sebut "rumah" itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai "rumah'' itu, Salman radhiyallahu 'anhu bertanya kepada tukangnya: "Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?" Kebetulan tukang bangunan ini seorang 'arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu 'anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: "Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya". "Benar", ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!"

Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu 'anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.

Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu 'anhu kepada isterinya: "Percikkanlah air ini ke sekelilingku ... Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah') yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: "Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh isterinya.

Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya ... Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ....

Salman radhiyallahu 'anhu .... Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas, hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya.

1) yang dimaksud makhluq Allah di sini, Malaikat.

Tamat………………………..

sumber : www.al-sofwa.or.id