Senin, 26 Januari 2009

GERHANA DAN SHALAT GERHANA

Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan

Gerhana matahari dan bulan merupakan fenomena alam yang berkaitan dengan peredaran bumi dan bulan. Menanggapi fenomena alam tersebut, Islam menganjurkan umatnya melaksanakan shalat gerhana. Sebagaimana yang yang tertera dalam hadits berikut: “Dari Al-Mughirah bin Syu’bah ra, berkata, “Terjadi gerhana matahri di masa Rasulullah saw saat kematian Ibrahim.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena kematian seseorang dan tidak karena kelahiran seseorang. Ketika kalian melihatnya, makia berdo’lah pada Allah dan shalatlah sampai selesai.” (Muttafaqun’ala’hi).

Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat.

Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.



Shalat Gerhana


Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya. Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

Hal ini berdasarkan hadits:

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Shalat gerhana disebut juga shalat khusuf/ kusuf (gerhana matahari/ bulan), tergantung waktu pelaksanaannya. Adapun ketentuan pelaksanaan shalat sunah ini ialah:

1. Memastikan terjadinya gerhana bulan atau matahari,

2. Shalat gerhana dilakukan saat gerhana,

3. Dilakukan berjemaah,

4. Tidak ada adzan dan iqamah,

5. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

6. Shalat gerhana berjumlah dua rakaat dengan dua rukuk setiap rakaat.

7. Bacaan shalat gerhana bulan dijaharkan (nyaring) sedangkan shalat gerhana matahari sebaliknya. Ada juga yang berpendapat bahwa kedua-duanya dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

8. Setelah rukuk pertama, setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.

9. Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang dari surat kedua, begitu juga pada rakaat kedua.

10. Setelah shalat disunahkan khutbah.

Tata Cara Shalat Gerhana

1. Berniat. Niat shalat gerhana: “Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat karena Allah”

2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah).

4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan

“Sami allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd”

Artinya: “Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami, bagi Engkaulah segala puji”

6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang lebih pendek dari surat sebelumnya. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan:

” Sami’ allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd, hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiihi, mil’as samaa’i wa mil’al ardh, wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du”

Artinya: “Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami,bagi Engkaulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan padanya, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari segala sesuatu sesudahnya”.

9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud (tidak memperlama duduk diantara dua sujud ) kemudian sujud kembali.

10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

11. Tasyahud dan Salam.

12. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Inilah salat gerhana sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau tentang hal itu melalaui beberapa jalan, sebagiannya di Ash Shahihain.

Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anha , “Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau berdiri, bertakbir, dan orang-orang berbaris dibelakang beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membaca bacaan yang panjang lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan, “SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WA LAKA AL HAMDU”. Kemudian beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang lebih pendek dari bacaan yang pertama, lalu takbir dan ruku’ yang lama lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengucapkan, “SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKA AL HAMDU”. Kemudian sujud. Lalu beliau mengerjakan yang seperti itu pada rakaat yang kedua hingga sempurna empat ruku’ dan empat sujud. Dan matahari kembali terlihat sebelum beliau selesai” (Muttafaqun ‘Alaih) [6]

Dan disunnahkan untuk shalat dengan berjama’ah berdasar perbuatan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan boleh untuk mengerjakan sendiri-sendiri, tetapi mengerjakannya dengan berjama’ah lebih utama.

Disunnahkan bagi imam untuk memberikan nasehat kepada manusia setelah shalat gerhana, mengingatkan mereka dari kelalaian dan kelengahan serta memerintahkan mereka untuk memperbanyak doa dan istighfar.

Dalam Ash Shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (artinya),

“Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah selesai shalat dan matahari telah nampak, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan memuja-Nya, dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, mengerjakan shalat, dan bershadaqahlah…”.” [7]

Apabila shalat sudah selesai sebelum gerhana hilang, hendaknya mengingat dan berdo’a kepada Allah hingga gerhana tersebut hilang, dan tidak perlu mengulang shalat, seharusnya menyempurnakan shalat dan tidak menghentikannya; berdasar firman Allah ,

وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (٣٣)

“Dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu” (Muhammad:33)

Maka shalat dilakukan pada waktu terjadinya gerhana berdasar sabda beliau, “hingga gerhana itu hilang”, dan sabda beliau, “Hingga dihilangkan apa yang menimpa kalian”.[8]

Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Gerhana terkadang lama waktunya dan terkadang pendek, tergantung gerhananya. Terkadang tertutup semuanya (gerhana total), terkadang separuh atau sepertiganya. Jika yang tertutup besar; hendaknya memanjangkan shalat hingga membaca Al Baqarah dan yang semisalnya pada raka’at pertama dan setelah ruku’ yang kedua hendaknya membaca yang lebih pendek. Telah datang hadits-hadits shahih dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tentang apa yang kami sebutkan. Dan disyariatkan untuk mempercepat shalat jika telah hilang sebabnya. Begitu pula jika mengetahui bahwa gerhana tersebut tidak lama. Dan apabila gerhana tersebut menipis sebelum shalat, maka supaya memulai shalat dan memendekkannya, itulah pendapat jumhur Ahli Ilmu; karena shalat tersebut disyariatkan berdasarkan’illah (sebab), dan ‘illah itu telah hilang. Jika gerhana itu hilang sebelum shalat; maka tidak perlu shalat….”. [9]

Sumber:

1. Rahmadanil, Agustus 20, 2007, http://islamikaforteen.wordpress.com/2007/08/20/shalat-gerhana/

2. Wira, 23 Januari 2009, http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/01/23/tuntunan-shalat-gerhana/

3. Muhammad Abduh Tuasikal, Januari 24, 2009, http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/24/tata-cara-shalat-gerhana/


FootNote:

1. [1] Dikeluarkan oleh AL Bukhari ( Nomer 1041, 1057, 3204) dan Muslim (Nomer 911).

2. [2] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Al Mughirah Bin Syu’bah; Al Bukhari (1060) [2/705] ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [2/457].

3. [3] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1059) [2/704] Al Kusuf 14; dan Muslim (912).

4. [4] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Mughirah: Al Bukhari (1043) [2/679] Al Kusuf 1, ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [3/457] Al Kusuf 5

5. [5] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir (2099) [3/447] Al Kusuf 5.

6. [6] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1046) [2/688]; dan Muslim (2088) [3/440].

7. [7] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1044) [2/682]; dan Muslim (2086) [3/438].

8. [8] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1063) [2/706] Al Kusuf 17. Dan asalnya adalah Muttafaq ‘Alaih dari hadits ABu Mas’ud Al Anshari: Al Bukhari (1041) [2/678] Al Kusuf 1; dan Muslim (2111) [3/453] Al Kusuf 5.

9. [9] Lihat “Majmu Fataawaa Syaikh Al Islam”

10. (Dinukil untuk blog ulamasunnah dari www.ghuroba.blogsome.com. Sumber: Kitab Al Mulakhkhash Al Fiqhi, Edisi Indonesia: Ringkasan Fiqih Islami 1, Penerbit Pustaka Salafiyah)

0 komentar: